ॐ नमः शिवाय

Senin, 27 Juli 2015

Terhambatnya Perjalanan Atma



ATMA GENTAYANGAN DI ALAM MARCAPADA SEBAGAI “HANTU”

Bahasan ini adalah tentang kelanjutan perjalanan dari atma yang gagal dalam dua kesempatan untuk mencapai moksha dan empat kesempatan untuk memasuki alam-alam suci melewati lorong cahaya alam antarabahava. Dimana kemudian sang atma akan memasuki kondisi sushupti [tidur lelap tanpa mimpi] untuk jangka waktu tertentu dan ketika terbangun dia akan mendapati dirinya kembali berada di alam Marcapada, menggunakan lapisan badan linga sarira [badan halus] menjadi atma [hantu] gentayangan.

Perlu dijelaskan kembali bahwa dua kesempatan untuk mencapai moksha dan empat kesempatan untuk memasuki alam-alam suci melewati lorong cahaya alam antarabahava tersebut durasinya berbeda-beda untuk setiap orang dan bisa berlangsung sangat cepat. Kebanyakan orang yang semasa hidupnya yang tidak melaksanakan dharma dan tidak melaksanakan sadhana, cenderung akan melewatkannya begitu saja. Dia akan merasa mengalami semua pengalaman tersebut bagaikan sebentar atau sekilasan saja. Dan bahkan ada orang-orang yang sama sekali tidak sadar dengan adanya pengalaman ini. Dia akan mendapati dirinya sudah menggunakan lapisan badan linga sarira [badan halus] menjadi hantu gentayangan, tanpa menyadari adanya perjalanan berharga tersebut.

Badan linga sarira ini bagi atma yang meninggal wujudnya sangat nyata, bahkan terlihat padat, karena unsur pembentuknya adalah sama dengan badan fisik, yaitu sari-sari makanan. Wujudnya akan sama dengan wujud fisik di detikdetik terakhir ketika orang tersebut meninggal. Misalnya kalau dia sudah tua, maka linga sarira ini juga sama demikian. Kalau dia meninggal dengan cara kecelakaan yang merusak badan dan berdarah-darah, maka linga sarira inipun juga sama demikian. Tapi orang yang masih hidup tidak akan dapat melihatnya [kecuali orang yang mata ketiga-nya sudah terbuka], karena dimensinya di lapisan yang halus dari alam marcapada.

Pengalaman menjadi hantu gentayangan sangat mirip dengan sebuah mimpi, karena kita tidak dapat sepenuhnya melakukan kontrol akan bagaimana perjalanan kita sendiri. Bisa dikatakan ini adalah bagaikan sebuah pengalaman mimpi, tapi sebuah mimpi yang sangat nyata. Saat kita mati, kita sepenuhnya meninggalkan badan fisik. Tidak adanya lagi badan fisik sebagai penghalang berarti kekuatan pikiran kitalah yang sepenuhnya bekerja. Sehingga alam kematian terasa sangat identik dengan alam mimpi, yaitu kita tidak dapat sepenuhnya melakukan kontrol akan jalannya mimpi tersebut. Ini adalah laksana sebuah pengalaman mimpi yang nyata.

Tidak seperti dalam masa kehidupan manusia, dalam alam mrtya loka ini ada kesulitan yang amat sangat di dalam menyatukan pikiran [fokus atau konsentrasi]. Tanpa tubuh fisik yang menjadi penghalang, maka pikiran akan demikian bebasnya. Pikiran sangat rentan akan perubahan dan atma akan terombang-ambing kesana kemari oleh arus karma dan samskara seperti layangan putus dihembus angin. Terutama jika kita tidak bersadhana, melaksanakan dharma dan berlatih sebelumnya dalam masa kehidupan. Coba ingat ketika anda mengalami mimpi buruk, betapa sulitnya menyatukan pikiran. Betapa tidak berdaya dan lemahnya kita di dalam mimpi tersebut. Dan di alam mrtya loka ini lebih sulit lagi untuk menyatukan pikiran.

Samskara [kekuatan kecenderungan pikiran] dan karma merupakan faktor kunci yang sangat menentukan dari apa yang akan kita alami di dalam kematian. Atma pasti akan terpapar dengan apapun kebiasaan dan kecenderungan yang  telah dia biarkan tumbuh, berkembang dan mendominasi di dalam masa kehidupannya. Sedikit saja gangguan emosi dan perasaan bisa memberi dampak besar
pada diri kita dan dengan konsekuensi yang berbahaya. Ini disebabkan karena tidak adanya lagi badan fisik sebagai penghalang, maka apapun perasaan dan gejolak emosi yang kita rasakan di moment ini akan menjadi berkali-kali lipat.

Misalnya sebuah contoh bila semasa kehidupan kita orangnya pemarah [mudah marah] maka itu akan menjadi potensi yang sangat berbahaya disini. Pengalaman ini bisa menjadi pengalaman yang sangat menyiksa, kalau perasaan dan gejolak emosi kita tidak stabil. Kalau kita merasa marah, maka rasa marah ini akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita. Kalau kita merasa sedih, maka rasa sedih ini akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita. Kalau kita merasa takut, maka rasa takut ini akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita. Kalau kita merasa malu, maka rasa malu ini akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita.

Kalau kita punya nafsu seks yang tidak terkontrol atau sangat peka terhadap sensualitas tubuh lawan jenis, maka hasrat itu akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita. Seperti pecandu narkoba yang mengalami sakau. Kalau kitademikian sayang dengan harta atau barang-barang milik kita, maka kerinduan harta atau barang-barang tersebut itu akan berkali-kali lipat menyiksa pikiran kita. Karena sepenuhnya digerakkan oleh kekuatan pikiran, atma tidak dapat diam dan tidak henti-hentinya bergerak. Semakin liar pikiran seseorang semasa hidupnya, maka semakin liarlah perjalanan atma di alam ini. Jika kita tidak memeriksa kebiasaan dan kecenderungan dalam kehidupan kita sekarang juga, maka dalam perjalanan atma di mrtya loka [dimensi halus alam marcapada] ini kita akan menjadi korbannya tanpa daya.

Atma tidak akan memiliki sepenuhnya daya untuk menentukan arah perjalanannya sendiri. Sebagian besar pengalaman dia hanya akan terseret oleh arus karma dan samskara-nya sendiri. Atma akan pergi kemanapun yang dia pikirkan, tidak terhalangi oleh ruang dan jarak. Atma juga cenderung akan menjalani ulang semua kehidupan lampaunya. Melintasi kembali semua kenangan yang telah lama hilang dan mengunjungi kembali berbagai tempat. Atma juga dapat melihat atma-atma lain yang juga bergentayangan sebagai hantu. Dia dapat berdialog sesaat dengan mereka. Karena ketika pikiran bergerak kembali, maka mungkin dia seketika akan berada di tempat dan keadaan lain.

Jika kebiasaan dan kecenderungan seseorang dalam masa kehidupannya adalah sabar, baik hati, banyak menolong, banyak membahagiakan, hidup sejalan dengan dharma, rajin bersadhana dan di detik-detik menjelang kematian menyambutnya dengan damai, maka pengalaman atma di alam halus marcapada [mrtya loka] ini cenderung akan tenang, yang berbaur dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Sebaliknya jika kebiasaan dan kecenderungan seseorang dalam masa kehidupannya adalah buruk, banyak menyakiti, banyak merugikan, banyak melakukan pelanggaran dharma dan di detik-detik menjelang kematian menyambutnya dengan kacau, maka pengalaman atma di mrtya loka ini cenderung akan kacau, yang berbaur dengan rasa sakit, kesengsaraan, kesedihan dan ketakutan.

Pikiran sangat rentan akan perubahan dan atma akan terombang-ambing kesana kemari oleh arus karma dan samskara. Di alam mrtya loka ini juga seseorang akan mengalami semua suka dan duka yang dia sebabkan kepada mahluk lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya dia pernah memfitnah orang, maka semua kesengsaraan yang disebabkan fitnahnya tersebut akan datang berbalik laksana hantaman bumerang. Misalnya dia pernah merugikan orang, maka semua kesengsaraan yang disebabkan kerugian tersebut akan datang kepadanya. Tentu tidak terbayangkan kengerian macam apa yang akan dialami oleh seorang diktator seperti adolf hitler, gembong narkoba, teroris, dsb-nya.

Biasanya yang paling amat sangat menderita disini adalah mereka yang mati bunuh diri dan mereka yang semasa hidupnya banyak melakukan kejahatan. Lalu yang juga sangat menderita disini adalah mereka yang semasa hidupnya suka menuruti emosinya dan mereka yang di detik-detik terakhir kematiannya dihadapi dengan perasaan sangat tidak tenang.

ATMA YANG TIDAK SADAR BAHWA DIRINYA SUDAH MATI

Bila kita melihat cara-cara seseorang mati sesuai putaran karmanya masingmasing, mungkin akan terlihat berbeda-beda. Ada yang mati sakit, ada yang mati dalam tidur, ada yang mati ditabrak mobil, ada yang mati dibunuh orang, dsb-nya. Semuanya terlihat berbeda. Apa sebabnya cara-cara datangnya kematian pada setiap orang bisa sangat berbeda-beda, itu semua sepenuhnya karena karma. Kadang kejadiannya sangat mengejutkan. Analoginya seperti gempa bumi dahsyat yang terjadi sangat mendadak tanpa sebelumnya menunjukkan tanda-tanda. Kita tidak memiliki persiapan apapun. Ketika itu harus terjadi tidak dapat terhindarkan lagi. Sebabnya sangat sering terjadi karmaphala atau buah dari karma buruk kita tertunda.

Bahkan dapat tertunda sampai kehidupan-kehidupan berikutnya. Kita tidak akan dapat melacak satu penyebab tunggal dari semua kejadian. Karena kejadian tragis apapun bisa jadi merupakan campuran sangat rumit dari banyak karma-karma buruk yang buahnya matang secara bersamaan. Walaupun cara-cara datangnya kematian pada setiap orang bisa sangat berbeda-beda, akan tetapi sesungguhnya ada satu kesamaan dari semua itu.

Kesamaannya yaitu ke alam mana kita akan pergi setelah mati, penyebabnya tetap sama yaitu ayusya karma dan samskara [kecenderungan pikiran] kita di masa kehidupan dan disaat-saat akhir menjelang kematian. Ketika kematian terjadi, seseorang akan mengalami tahap transenden dimana semua ingatan tentang masa kehidupan muncul kembali, lalu diikuti oleh munculnya dua kesempatan untuk mencapai moksha dan empat kesempatan untuk memasuki alam-alam suci melewati lorong cahaya alam antarabahava.

Sangat sering terjadi, dimana kebanyakan orang akan melewatkan semua pengalaman itu begitu saja. Dia akan merasa mengalami semua pengalaman tersebut bagaikan sebentar atau sekilasan saja, atau bahkan sama sekali tidak sadar dengan adanya pengalaman tersebut. Bagi atma yang kembali ke Marcapada, umumnya dia seolah-olah akan berada di sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Dan dia tidak atau belum sadar bahwa dirinya sudah mati. Hal ini sangatlah sering terjadi, yaitu seseorang belum menyadari kalau dirinya sudah mati. Khususnya kalau seseorang mengalami kematian secara sangat tiba-tiba dan tidak punya waktu untuk bersiap-siap menyongsong kematian, seperti misalnya tertabrak mobil, terkena ledakan bom, mati di meja operasi, dsb-nya. Atau kemungkinan lain penyebabnya karena seseorang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan kehidupan dunia ini.

Menurut para guru-guru suci, sebab utama orang belum sadar bahwa dirinya sudah mati adalah karena pengalaman kematian bagi yang belum sadar itu cenderung terasa seperti pengalaman mimpi. Bagaimana kita ketika tidur mengalami mimpi, yaitu perjalanan kita acak kesana kemari mengikuti arus karma dan samskara. Dan alam marcapada ini terasa sangat jelas tapi sekaligus samarsamar antara nyata dan tidak nyata. Tapi sangat nyata. Ini karena kita sudah berpisah dengan badan fisik kita dan sekarang sepenuhnya menggunakan badan pikiran saja.

Misalnya [contoh], seseorang tiba-tiba mati karena kecelakaan. Artinya dia mengalami kematian mendadak. Setelah melalui beberapa tahap pengalaman sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dia kembali ke Marcapada. Dia kemudian akan dibuat bingung karena tidak seorangpun menghiraukan dirinya. Tentu saja demikian karena dia tidak lagi memiliki sthula sarira [badan fisik] sehingga dia tidak terlihat oleh mata biasa. Dia mencoba bicara dengan orang-orang, tapi tidak ada yang merespon. Dia tidak bisa membuka pintu untuk ke ruangan lain, tetapi dimana yang dia pikirkan seketika itu dia berada disana. Misalnya dia meninggal karena kecelakaan dan pikirannya kembali kepada kejadian kecelakaan tersebut, atmanya seketika akan kembali berada di lokasi kejadian kecelakaan. Kalau yang dia pikirkan adalah pekerjaannya, seketika dia akan berada di kantor tempatnya bekerja.

Dalam banyak sekali kejadian orang yang belum sadar bahwa dirinya sudah mati, atma cenderung akan menjalani ulang semua kehidupan lampaunya. Melintasi kembali semua kenangan yang telah lama hilang dan mengunjungi kembali berbagai tempat. Mungkin dia tetap akan beraktifitas seperti kebiasaannya sehari-hari. Misalnya sebuah contoh dia akan tetap pergi bekerja ke kantor seperti biasa. Walaupun dengan keadaan ”aneh” tersebut, dimana dia mencoba bicara dengan orang-orang tapi tidak ada yang merespon dan dimana yang dia pikirkan seketika dia akan berada disana. Semua moment ini bagi seseorang yang belum mengerti bahwa dirinya sudah mati akan membingungkan. Dia akan terus bergentayangan sebagai apa yang oleh orang awam disebut sebagai hantu.

Setiap tujuh hari sekali pengalaman emosional saat kematiannya akan terulang kembali. Dimana setiap emosi akan selalu muncul dengan kondisi berkali-kali lipat dibandingkan masa kehidupan dimana masih memiliki badan fisik. Bagi mereka yang meninggal dengan tenang dan damai, pengulangan pengalaman emosional saat kematiannya juga akan menjadi pengalaman yang tenang dan damai. Sebaliknya bagi mereka yang meninggal dengan perasaan sedih dan takut, maka inilah yang akan muncul kembali dengan kadar berkali-kali lipat. Kalau dia meninggal dengan rasa sakit, maka respon emosional dari rasa sakit ini akan muncul kembali. Misalnya dia meninggal dengan mengalami serangan jantung, dia akan kembali merasakan kesakitan di dadanya. Tentu ini sifatnya hanya respon emosional belaka, sebab dia tidak lagi memiliki badan fisik, sehingga sebenarnya tidak lagi memiliki rasa sakit fisik apapun.

Ini dalam banyak kejadian bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Bisa sampai puluhan tahun bahkan sampai ratusan tahun. Dia terus terombangambing dalam arus karma dan samskara-nya sendiri di dimensi halus alam marcapada [mrtya loka]. Dan orang-orang yang masih hidup akan menyebut tempat dimana dia biasa bergentayangan sebagai tempat berhantu. Ini baru akan berakhir sampai dia bisa menyadarinya sendiri bahwa dia sudah mati. Atau sampai ada seorang yang siddhi yang memberi tahu dia bahwa dia sudah mati.

Ataupun berbagai kemungkinan lainnya seperti nantinya ada atma leluhur yang turun ke Marcapada memberitahu. Ini mungkin bisa terjadi kalau semasa hidup dia rajin memuja leluhur. Atau mungkin juga sampai dia bertemu utusan penjemput dari alam-alam suci. Ini mungkin bisa terjadi kalau dia memiliki akumulasi karma baik yang berlimpah. Dan termasuk ada banyak kemungkinan lainnya.


ATMA YANG SADAR BAHWA DIRINYA SUDAH MATI, TAPI TIDAK TAHU APA YANG HARUS DILAKUKAN


Ini adalah keadaan dimana seseorang sudah menyadari kalau dirinya sudah mati. Tapi dia menemukan dirinya masih bergentayangan di Marcapada dengan linga sarira [badan halus]. Atau dengan kata lain menjadi ”hantu”. Bagi yang tidak memiliki pengetahuan dharma, umumnya dia akan berada dalam keadaan  kebingungan, sama sekali tidak tau apa yang harus dilakukan. Mungkin saja dia kemudian merasa shock, sedih atau ketakutan.

Sangat perlu diketahui bahwa rasa takut, rasa sedih, rasa tidak rela berpisah, rasa bingung, dsb-nya, adalah salah satu bentuk pikiran yang harus sangat dihindari dalam kematian. Mengingat dampaknya yang demikian buruk. Dan ingatlah bahwa milyaran tahun dalam siklus samsara sesungguhnya semua orang sudah berjuta-juta kali mengalami hal ini. Hanya saja kebanyakan tidak ingat.

Banyak atma yang mengalami keadaan “mengambang” ini [menjadi “hantu”] tidak tahu harus kemana atau apa yang harus dilakukan. Sehingga kemudian mencari tempat berlindung atau bernaung seperti di rumah-rumah kosong, kadang di pohon-pohon besar atau juga di tempat-tempat yang energinya terasa nyaman bagi mereka seperti misalnya di sebuah parahyangan suci [pura] karena pancaran getaran energi suci pura yang sejuk dan damai membuat mereka merasa nyaman untuk sementara. Melenyapkan beban kesengsaraan mereka untuk sementara waktu.

Dalam ajaran dharma disebutkan, bahwa di tahap yang “mengambang” ini yang terbaik adalah dilakukan adalah usaha untuk bisa menemukan jalan menuju alam-alam suci. Jangan sampai kita menjadi “hantu gentayangan”. Terlebih lagi jangan sampai nantinya mengalami pengalaman buruk seperti ditangkap dan diperbudak mahluk niskala jahat yang sakti, ditangkap dan diperbudak praktisi ilmu hitam, terjerumus ke bhur loka atau alam-alam bawah atau terlahir kembali sebagai binatang. Gunakanlah pengetahuan dharma sebagai bekal sangat penting untuk dapat menemukan jalan keluar yang terbaik.

AVIDYA [KEBODOHAN, KETIDAKTAHUAN] DI ALAM KEMATIAN

Dalam kejadian atma bergentayangan di Marcapada dengan linga sarira [badan halus], sangat sering dan umum melakukan berbagai kebodohan [avidya]. Ini sesungguhnya ada potensi berbahaya dan haruslah amat sangat dihindari. Ingatlah pesan tetua Bali jaman dahulu tentang “lekad melalung mati mase melalung”, artinya atma datang lahir tidak membawa apa-apa [bahkan badan fisik-pun baru didapat di alam marcapada] dan pergi mati juga harus tidak membawa apa-apa [merelakan semuanya yang tidak kekal]. Sehingga satusatunya fokus yang harus dan wajib kita lakukan adalah menemukan jalan menuju alam-alam suci.

Dan ini adalah beberapa contoh kebodohan di alam kematian dari kejadian nyata yang umum terjadi :

1. Perasaan tidak rela

Ini adalah kejadian dimana atma sudah sadar bahwa dirinya sudah mati, tapi dia sangat tidak rela dengan kematiannya. Coba bayangkan kalau seseorang kehilangan baju kesayangan, atau handphone baru, atau benda kesayangan lainnya. Respon umum sebagian orang adalah sedih, kecewa atau bahkan marah. Sekarang lagi coba bayangkan seseorang kehilangan mobilnya. Sekarang coba bayangkan lebih lanjut seseorang kehilangan kehilangan seluruh tabungan dan deposito hasil kerja kerasnya.

Respon umum sebagian orang adalah sedih, kecewa atau sangat marah. Di dalam kematian seseorang kehilangan semua dan segala-galanya sekaligus menjadi satu. Jadi bisa dibayangkan bagaimana rasa sedih, rasa marah dan rasa frustasinya. Atma melihat tanpa daya semua kegiatan orang lain. Tidak dapat lagi berkomunikasi dengan keluarga dan teman-temannya. Tidak dapat lagi menggunakan barang-barang miliknya. Kamar tidur tidak lagi menjadi miliknya, dibongkar dan beberapa benda miliknya siap-siap dibuang. Atma merasa marah, terluka dan frustrasi.

Atma merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan keluarga, kehilangan sahabat, kehilangan rumah, kehilangan mobil, kehilangan pekerjaan, kehilangan jabatan, kehilangan hobi, kehilangan deposito, kehilangan acara tv favorit, kehilangan kenikmatan-kenikmatan indriya dan bahkan kehilangan badan fisik yang digunakan untuk beraktifitas. Sehingga atma tidak rela untuk mati. Di dalam dirinya muncul kerinduan mendalam akan tubuh fisik, sehingga makin terbenamke dalam kesengsaraan. Dia terus berusaha masuk kembali ke badan fisiknya.

Ini adalah hal yang sangat umum terjadi. Ini juga pernah terjadi pada seorang kerabat penulis yang meninggal. Sehingga atma terus berusaha masuk kembali ke badan fisiknya. Upaya ini tentu saja pasti akan gagal, karena tali sutratman sudah terputus. Dalam beberapa kejadian atma bahkan dapat tinggal di sekitar barangbarang miliknya atau terus berada di dekat jasadnya selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Harus diingat bahwa bagaimanapun juga kematian adalah tidak dapat terhindarkan terjadi pada semua mahluk. Yakinkan diri dan kuatkan diri dengan segala upaya kita harus merelakan segalanya dan segera melakukan upaya untuk memasuki alam-alam suci.

2. Merasa ada hal-hal yang perlu diselesaikan

Ini adalah kejadian dimana atma merasa masih perlu mengerjakan hal-hal tertentu dalam masa kehidupan. Misalnya seperti merasa perlu menyelesaikan pekerjaannya di kantor, merasa perlu menyelesaikan renovasi rumahnya, merasa perlu menikahkan anaknya sebelum meninggal, merasa perlu memberitahu keluarganya bahwa dia menyimpan banyak uang, emas atau batu mulia di bawah lantai kamarnya, atau sekedar merasa perlu mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga yang ditinggalkan, dsb-nya. Ini adalah ganjalan yang mungkin dapat sangat mengganggu atma.

Di Bali semua ganjalan atma ini bisa diupayakan terselesaikan oleh keluarga mendiang dengan cara datang ke balian untuk nunas baos. Ini bisa dilakukan dengan mengundang atma, lalu memberinya kesempatan masuk ke dalam badan sang balian sebagai perantara. Dimana karena adanya badan fisik sebagai wahana maka atma dapat menyampaikan maksudnya dengan baik. Atau juga dengan cara bantuan sadhaka yang siddhi yang dapat mengundang atma, menuntun atma dan berdialog dengannya.

Tapi bila fasilitas ini tidak ada, ketika kematian sudah menjemput yakinkan diri sekuat-kuatnya bahwa semua itu sudah tidak penting lagi dan bahwa tidak ada hal apapun yang bisa kita lakukan lagi. Kita harus melepasnya dengan penuh  kerelaan. Dan satu-satunya fokus kita adalah segera melakukan upaya untuk memasuki alam-alam suci.

3. Mengikuti berbagai gejolak perasaan dan emosi

Ini adalah kejadian dimana atma seseorang yang meninggal demikian mudahnya terseret di dalam arus emosi dan perasaannya. Tanpa upaya mengendalikan diri. Misalnya sebuah kejadian dimana atma seseorang yang meninggal berkeliaran di sekitar keluarganya atau kenalannya. Lalu melihat keluarganya bertengkar dan bermusuhan akibat berebut warisan, atau mendengar orang memberi gossip buruk atau omongan buruk tentang dia. Ini sebuah peristiwa yang bisa sangat mengganggu atma. Ini membuat sang atma merasa sangat marah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa karena tidak adanya lagi badan fisik sebagai penghalang, maka apapun perasaan dan gejolak emosi yang kita rasakan di tahap kematian ini akan menjadi berkali-kali lipat.

Atau pada sebuah kejadian yang diceritakan salah seorang guru, yang juga merupakan seorang pandita yang sering muput upakara ngaben. Ketika ritual penyeberangan atma dalam upakara ngaben akan dilakukan, atma mendiang dipanggil-panggil tapi malah duduk dengan menunduk di salah satu pojok rumahnya dan tidak mau mendekat kepada pandita untuk diseberangkan. 

Setelah ditanyakan atma mendiang [seorang wanita yang meninggal dalam usia muda] mengatakan bahwa dirinya sangat malu karena ditelanjangi dan dilihat banyak orang dalam ritual memandikan jenazah. Untungnya pandita memiliki keahlian untuk membujuk. Menjelaskan pentingnya ritual memandikan jenazah, pentingnya merelakan badan fisik, pentingnya ritual pembakaran jenazah dan pentingnya kesempatan penyeberangan ini, sehingga kemudian atma mendiang kemudian mau diseberangkan.

Kisah ini kedengarannya lucu. Bahkan sayapun tersenyum geli ketika mendengarnya. Walaupun ini sesungguhnya hal yang sangat serius. Harus diingat bahwa badan fisik kita ini sesungguhnya hanyalah seonggok sampah yang hanya kita perlukan untuk beraktifitas dalam kehidupan manusia. Ketika kematian terjadi badan fisik ini benar-benar menjadi sampah yang sama sekali tidak berguna. Sangatlah bodoh untuk melekat kepada badan fisik yang sangat tidak kekal ini. Kita harus merelakan segalanya dan segera melakukan upaya untuk memasuki alam-alam suci.

Pada kejadian yang lain, ketika ritual penyeberangan atma dalam upakara ngaben akan dilakukan, atma mendiang dipanggil-panggil oleh pandita tapi malah duduk diam di bawah sebuah pohon. Ternyata atma mendiang punya sifat takuttakut dan tidak percaya diri yang besar, sehingga tidak mau mendekat kepada pandita untuk diseberangkan. Setelah dibujuk-bujuk dia tetap tidak mau. Untungnya pandita memiliki jalan keluar. Diundanglah datang seorang kerabat dekat-nya yang sudah lebih dahulu meninggal yang dulunya diseberangkan pandita masuk alam leluhur. Akhirnya kerabat ini yang mengupayakan atma mendiang untuk mau mendekat kepada pandita. Sehingga atma-nya dapat diseberangkan.

Sungguh betapa pentingnya menjaga kejernihan bathin di alam kematian. Mereka yang ada dalam kisah ini adalah orang-orang masih memiliki tumpukan akumulasi karma baik sehingga sangat beruntung bisa mendapat kesempatan penyeberangan atma dari seorang pandita yang siddhi. Kalau tidak, tentu dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada mereka.

4. Masih terikat erat dengan kesenangan duniawi

Kejadian ini diceritakan juga oleh pandita yang sama. Pernah kejadian ketika ritual penyeberangan atma dalam upakara ngaben akan dilakukan, atma mendiang dipanggil-panggil tapi ternyata dia malah sibuk menonton orang main ceki. Rupanya dalam hidupnya dia sangat senang main ceki. Pada kejadian yang lain, atma mendiang dipanggil-panggil tapi ternyata dia malah nongkrong di dagang tipat cantok. Rupanya dalam hidupnya dia sangat senang makan tipat cantok. Dia terus berusaha memakan tipat cantok dengan rasa frustasi yang mendalam tapi tentu saja upaya ini gagal.

Agak sulit untuk membujuk dua orang ini agar mau diseberangkan. Karena nmelekatnya mereka dengan duniawi. Dengan penjelasan yang tepat dari pandita akhirnya mereka mau diseberangkan. Sekali lagi betapa pentingnya menjaga kejernihan bathin di alam kematian. Kisah ini kedengarannya sangat lucu. Bahkan sayapun tertawa terbahak-bahak  ketika mendengarnya. Tapi ini sesungguhnya hal yang sangat serius. Mereka yang ada dalam kisah ini adalah orang-orang yang masih memiliki tumpukan akumulasi karma baik sehingga beruntung mendapat kesempatan penyeberangan atma dari seorang pandita yang siddhi. Kalau tidak demikian, tentu dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada mereka.

Apa semua yang disampaikan diatas hanyalah beberapa saja contoh dari kejadian nyata avidya [kebodohan] sikap di alam kematian. Sebagai sebuah inspirasi nyata tentang bagaimana sebaiknya kita bersikap di alam kematian. Ini menunjukkan betapa pentingnya kita membina diri dan melakukan sadhana ketika masih dalam semasa kehidupan. Karena latihan apa yang kita lakukan semasa kehidupan akan sangat berpengaruh di alam kematian. Terutama latihan bagaimana mengelola sad ripu [enam kegelapan bathin], serta mengembangkan sifat penuh welas asih dan kebaikan.

Bagaimana semasa kehidupan kita belajar mengolah matsarya [iri hati, sentimen] menjadi empati, ikut bahagia melihat kebahagiaan orang lain. Mengolah kroda [marah, benci, dendam] menjadi sifat penuh welas asih dan kebaikan. Mengolah moha [bingung, gelisah, sedih, putus asa] menjadi ketenangan, bathin yang tenang-seimbang. Mengolah lobha [ketidakpuasan, keserakahan] menjadi sifat penuh rasa syukur dan penuh rasa kerelaan. Mengolah mada [sombong, angkuh] menjadi sifat kerendah-hatian. Mengolah kama [keinginan, hawa nafsu] menjadi sifat-sifat mulia yang terkelola.
Serta pentingnya mengembangkan sifat penuh welas asih dan kebaikan semasa kehidupan. Karena ini tidak saja pasti akan memberi kesejukan dan kedamaian ke dalam bathin, tapi juga memberi tumpukan karma baik yang membuka banyak jalan yang terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar