Dalam kehidupan sehari-hari dimana kita hidup sebagai makhluk yang homo sosius. Homo sosius disini yang artinya berarti ia tidak dapat hidup sendiri, ia selalu bersama sama dengan orang lain. Manusia akan dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan dapat mempunyai arti apabila ia bisa hidup bersama-sama dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan bergaul dengan sesame manusia lainnya. Hanya dengan hidup bersama manusia dapat berkembang wajar. Hal ini ternyata sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani.
Dalam membina suatu kerukunan hubungan bermasyarakat dibutuhkan suatu bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama yang disebut etika. Adapun etika yang dibahas dalam beberapa kitab suci Agama Hindu. Disini agar lebih jelas kami akan membahas mengenai etika Hindu dalam Sarasamuccaya, etika Hindu dalam Slokantara dan etika Hindu dalam Nitisastra.
Kitab Sarasamuccaya terdiri dari sebuah pengantar pendek dan 517 sloka yang diterangkan dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini adalah kitab etika untuk pemeluk agama Hindu di Indonesia.
“ The Sarasamuccaya is the Gita of the Balinese Hindus,”
- Sarasamuccaya adalah Bhagavadgitanya orang-orang Bali pemeluk agama Hindu.
Demikian ucapan Raghu Vira M.A. PH.D. dalam bukunya Sarasamuccaya. Benar juga ucapan ini karena isi dari Sarasamuccaya adalah buku pedoman bertingkah laku yang baik di dalam kehidupan ini.
Kitab ini pun mengajarkan bahwa manusia itu ada yang mempunyai kecenderungan baik, ada yang buruk. Sifat-sifat itu dinyatakan dalam bentuk subha karma yaitu perbuatan baik dan asubha karma yaitu perbuatan buruk. Karena manusia ini adalah makhluk yang mulia, makhluk berfikir maka ia mampu melepaskan dirinya dari asubha karma dan masuk dalam subha karma. Hal ini dinyatakan dalam syair-syair kitab Sarasamuccaya. Pada banyak komentar dari sloka-sloka kitab Sarasamuccaya ini orang-orang yang berbudi luhur disebut Sadhujana, sang sajjana, sedangkan orang yang bertabiat buruk disebut dursila, durjana, dursila wwang papabhudhi. Orang sadhujanaadalah orang yang sabar, tidak kasar tidak memikirkan akan cacat cela orang.
Semua sifat-sifat kebajikan itu dapat kita pada ayat-ayat kitab Sarasamuccaya seperti dibawah ini.
Na prhrsyati sammane nindito nanutapyate. Na kruddhan parusanyaha tamahuh sadhulaksanam.
Kunang laksana sang sadhu,
tan agirang yang malem,
tan alara yan ininda,
tan kataman krodha,
pisaningun ujarakena ng parusawacana,
langgeng dhirahning manah nira.
(S.S. 306)
Terjemahan :
Adapun ciri-ciri sang sadhu adalah tidak gembira jika dipuji, tidak sedih jika dicela, pun tidak kerasukan marah, tidak mungkin beliau mengucapkan kata-kata kasar, sebaliknya selalu tetap teguh dan suci bersih pikiran beliau.
Na smarantyaparaddhani smaranti sukrtanica,
Asambhinnaryamaryadah sadhavah purusot tamah.
Lawan ta waneh, terangen-angen dosa ning len, pisanungun ujarakenang parapawada, gunanya, mwang ulahnya, rahayu juga kenget nira, tatan hana gantanira manasara sakeng sistacara apageh juga sira ri maryadanira, mangkana laksana sang sadhu, sira purusotama ngaranira waneh.
(S.S. 307)
Terjemahan :
Dan lagi sang sadhu tidak memikirkan dosa atau cacat orang lain, pun tidak akan mengeluarkan kata-kata apapun tentang celaan atau teguran dari pihak lain, hanya kebajikan dan perbuatan baik pihak lain saja dipikirkan beliau, dan sama sekali tidak ada kemungkinan beliau akan menyimpang dari perilaku orang arif, melainkan tetap teguh berpegang pada susila dan sopan santun. Demikianlah laksana sang sadhu. Beliau disebut pula orang utama.
Yatha yatha prakstanam ksetranam sasyasampadah,
Sakha phalabharena namrah sadhustathatatha.
Paramarthanya, upasama ta pwa sang sadhu ngaranira,
Tumukul dening kweh gunanira, mwang wruhnira,
kadyangga ning pari,tumungkul dening wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya.
(S.S.308)
Terjemahan :
Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sadhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya.
Aryavrttamidam vrttamiti vijnaya sasvatam, santah
Parartham, kurvana naveksante pratikriyam.
Tatan pakanimittha hyunira ring pratyupakara sang sajjana ar gawayaken ikang kapararthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoseka ring phala.
(S.S. 313)
Terjemahan :
Bukan karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah cirri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasilnya.
Demikianlah sifat-sifat mulia yang dimiliki sang sadhujana. Selanjutnya kita sajikan uraian sifat-sifat orang papa budhi yang sudah tentu berlawanan dengan sifat-sifat sang sadhu budhi.
Sifat-sifat itu antara lain adalah sifat ingin berbuat jahat, tidak kasihan kepada dirinya sendiri, bohong, mebuat orang lain menderita, sombong, munafik, menipu dan sebagainya.
Dibawah ini ada beberapa ayat dalam kitab Sarasamuccaya yang menguraikan sifat-sifat sang Durjana.
Khalah sarsapamatrani parachidrani pasyati,
Atmano vilvamatrani pasyannapi na pasyati
Lawan purihnikang durjana, yadyan sawiji ning sasawi dosa sang sadhu, katon juga denya, denya, kunang yan dosanyawaknya, yadyan sawwah ning wilwa towi katona ta de nya, tan tinom jugha ya.
(S.S. 341)
Terjemahan :
Dan tabiat orang yang jahat meskipun sebesar biji sawi dosa sang sadhu terlihat olehnya. Akan tetapi mengenai noda dirinya sendiri, kendati sebesar buah maja yang seharusnya terlihat olehnya, tidak tampak olehnya.
Abhivadya yatha vrddhan santo gacchanti nirvrtim,
Tatha sajjanamakrusya murko bhavati nirvrtah.
Lawan swabhawa ning durjana, ikang sang sadhu, atyanta juga sukhaniran panambaha atwang adara ri sang wrddha pandita, tatan mangkana ng durjana, wiparita kramanya, atyanta paritustanyan telah maniraskarawamana angapahasa ri sang mahapurusa.
(S.S. 342)
Terjemahan :
Demikianlah perangai si durjana, sedangkan sang sadhu kaliwat senang hatinya untuk member hormat dengan segala kerendahan hati serta dengan hikmat kepada sang pandita yang arif bijaksana. Tidaklah demikian sang durjana, terbalik prilakunya. Ia terlalu sangat puas hatinya setelah menista, berlaku kurang ajar dan mengejek orang yang berjiwa besar.
Cadyamano pi papaya subhatma nabhipadyate,
Varyamano pi papatma papebhyah papamicchati.
Apan sang sadhu ngaranira, yadyapin konen sira ring ulah salah, tan pangihidep juga sira, tan rengo-rengon, kunang ikang wwang dusta, yadyapin uhutana towi ring ulah salah, inulahakennya juga.
(S.S. 348)
Terjemahan :
Orang yang disebut sadhu budi, biarpun diperintahkan untuk berbuat dosa, sekali-kali beliau tidak akan menurut, dan tidak akan mentaati perintah itu. Akan tetapi orang yang berhati jahat, meskipun ia dilarang agar tidak melakukan perbuatan jahat namun dilakukan juga olehnya.
Demikianlah dalam ajaran etika kita selalu menemukan satu pilihan diantara dua sifat baik dan buruk. Dan etika selalu menunjukkan jalan untuk memilih sifat yang baik.
Isi pokok ajaran sarasamuccaya ini adalah ajaran etika. Berbagai suruhan, larangan mengenai tingkah laku disajikan oleh kitab ini. Tentu saja semua ajaran ini berlandaskan ajaran agama Hindu, ajaran untuk mencapai kelepasan dari belenggu penderitan.
Kelahiran ini adalah tangga untuk naik ke sorga. Karena itu kelahiran ini harus diabadikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan supaya tidak jatuh ke neraka. Caranya adalah dengan melakukan dharma.
Dalam hal ini akan kami paparkan beberapa pokok ajaran kitab ini yang mengenai :
1) Catur Purusa Artha
2) Tri kaya
3) Tentang pergaulan
4) Hormat kepada orang lain dan orang tua
5) Ajaran tentang dasa yama dan dasa niyama.
Baik disini akan dijelaskan satu persatu mengenai pokok ajaran kitab ini yaitu :
1) Catur Purusa Artha
Walaupun kitab Sarasamuccaya tidak ada menyebut nama catur purusa artha, tetapi perincian dari catur purusa artha itu yaitu dharma, artha, kama dan moksabeberapa kali disebut dan diuraikan maknanya dalam beberapa ayat.
Hal ini misalnya dapat kita baca pada sloka 1 kitab ini sebagai berikut :
Dharma carthe ca kame ca mokse ca bharatarsabha,
Yadihasti tadanyatra yannehasti na tat kvacit.
Terjemahan :
Oh engkau bentengnya keluarga Bhatara, dalam lapangan dharma, artha, kama dan moksa, sebagaimana tertulis disini terdapat juga ditempat lain, dan apa yang tidak tercantum disini tidak akan dijumpai ditempat lain.
Catur purusa artha artinya empat tujuan hidup manusia. Memang hidup di dunia ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kama yaitu keinginan, hawa nafsu yang mendorong orang untuk berbuat sesuatu, yang mendorong orang bergairah dan bergirang dalam hidup ini. Objek daripada kama ini adalah artha yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan kama sehingga menjadi orang nikmat merasakan hidup ini. Tetapi dalam memenuhi tuntutan kama pada artha akan dapat membawa orang pada jurang kesengsaraan apabila tidak atas dasar dharma yaitu kebajikan, kebenaran, peraturan-peraturan yang mendukung orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Maka itu dharmalah yang harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan kama atas artha.
Sloka 12 kitab Sarasamuccaya mengingatkan kita akan hal ini sebagai berikut :
Kamarthau lipsamanastu dharmamevaditasearet,
Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana.
Yan paramarthanya, yan artha kama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhuh, niyata katemwanging artha kama menetan paramartha wi katemwa ning artha kama dening anasar sakeng dharma.
Terjemahan :
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu. Tak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama ini nanti. Tidak aka nada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Dengan uraian di atas ini, maka dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam catur purusa artha, karena dharmalah yang mengantar orang mendapatkan kebahagiaan dalam menuruti kama menikmati artha di dunia ini. Karena itulah dharma amat dipuji-puji dalam kitab ini, dan orang terus menerus dihimbau untuk menjadikan dharma pedoman hidupnya.
Hal ini dinyatakan dalam sloka-sloka berikut :
Dharma eva plavo nanyah svargam samabhivanchatam,
Sa ca naurpwanijastatam jaladheh paramicchatah.
Ikang dharma ngaranya, henu ning mara ring swarga ika, kadi gati ning parahu, an henu ning banyaga nentas ing tasik.
(S.S.14)
Terjemahan :
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga, sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.
Yathadityah samudyan vai tamah sarvam vyapohati,
Evam kalyanamatistam sarvapapam vyapohati.
Kadi karma sang hyang aditya, an wijil, humilangaken peteng ning rat, mangkana tikang wwang mulahakening dharma, an hilangakensalwir ing papa.
(S.S.16)
Terjemahan :
Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Tentu saja orang-orang yang melanggar dharma, yang tidak mau menjadikandharma jalan hidupnya akan tidak mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Orang yang demikian itu adalah orang yang jatuh dalam adharmaprawrtti. Demikian penjelasan ayat 47 dari kitab Sarasamuccaya.
Trikaya
Segala apa saja yang dilakukan orang dapat berlangsung melalui trikaya, tiga anggota badan yaitu : Kaya, Wak dan manah. Kaya ialah anggota badan, seperti tangan, kaki, punggung, mulut dan sebagainya. Sedangkan wak ialah kata-kata, dan manahadalah pikiran. Dengan tiga alat inilah manusia dapat berbuat sesuatu, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, dan lingkungannya. Sebutan trikaya itu dalam kitab Sarasamuccaya kita dapati dalam ayat 157 sebagai berikut :
Adrohah sarvabhutesu,
Kayena manasa gira,
Anugrahasca danam ca,
Silametadvidurbudhah.
Ikang kapatyaning sarwabhawa, haywa jugenulahaken, makasadhanang trikaya, nang kaya, wak manah, kunang prihen ya ring trikaya anugraha lawan dana juga, apan ya ika sila ngaranya, ling sang pandita.
Terjemahan :
Yang membuat matinya segala makhluk hidup, sekali-kali jangan hendaknya dilakukan dengan menggunakan trikaya, yaitu perbuatan dan pikiran. Adapun yang harus diikhtiarkan dengan trikaya, hanyalah pemberian dan sedekah saja, sebab itulah yang disebut sila, kata orang arif.
Tiga anggota badan itu dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk dan dapat pula digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik. Bila orang dapat menggunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, maka trikaya itu akan disebut trikaya parisud artinya tiga anggota badan yang telah disucikan meliputi :
(1) Kayika Parisudha
Kayika parisudha dapat kita rumuskan sebagai segala prilaku yang berhubungan dengan badan yang telah disucikan. Dengan berbuat berarti kita telah membuat suatu karma yang akan mementukan hidup kita pada masa-masa yang akan datang. Karena kita mengharapkan hidup yang lebih baik pada hari yang akan datang, maka sekaranglah waktunya kita menanamkan karma yang baik dengan menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk. Dalam hubungan ini kitab Sarasamuccaya, ayat 76 menyebutkan demikian :
Pranatipatam stainyam ca,
Paradaranathapi va,
Trini papani kayena,
Sarvatah parivarjavet.
Nihan yang tan ulahakena, syamati mati, mangahal ahal, siparadara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring parihasa, ring apatkala, ring pangipyan tuwi singgahana juga.
(S.S.76)
Terjemahan :
Inilah yang tidak patut dilakukan :
- Membunuh
- Mencuri
- Berbuat zina
Ketiganya janganlah hendaknya dilakukan terhadap siapapun baik secara berolok-olok, dalam keadaan dirundung malang, dalam hayalan sekalipun, hendaknya dihindari semua itu.
(2) Wacika Parisudha
Berkata yang benar dan baik disebut orang wacika parisudha. Kata-kata dapat mendatangkan untuk diri sendiri atau menarik simpati orang lain. Ia dapat merupakan tirtha amrta yang sejuk nyaman, yang menghibur dan menghidupkan orang. Tetapi ia juga menjadi racun yang menghancurkan, merusak jiwa dan raga manusia.
Vaksayaka vadanannispatanti yairahatah socati ratrayhani, parasya va marmasute patanti tasmaddhiro navasrjet paresu.
Ikang ujar ahala tan pahilawan hru, songkabnya sakatempuhan denya juga alara, resep ri hati, tatan keneng pangan turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat tan inujaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manahnira.
(S.S.20)
Terjemahan :
Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah yang dilepaskan. Setiap yang ditempuhnya merasa sakit. Perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan orang tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari. Oleh sebab itu perkataan yang demikian tidak diucapkan oleh orang budiman dan wira perkasa, pun pula oleh orang yang suci bersih hatinya.
Dalam kitab Sarasamuccaya ayat 75 menyebutkan empat hal yang tidak dilakukan dengan kata-kata. Empat hal itu sebagai berikut :
Asatpralapam parusyam
Paisunyamanrtam tahta,
Catvari vaca rajendra,
Na jalpennanucintayet.
Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat kwehnya, pratyekanya ujar ahala, ujar apregas ujar pisuna, ujar mithya, nahan tangpat sinanggahananing wak, tan ujarakena, tan angen-angenan kojaranya.
(S.S.75)
Terjemahan :
Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya yaitu :
- Perkataan jahat
- Perkataan kasar
- Perkataan memfitnah
- Perkataan bohong
Inilah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan jangan diucapkan jangan dipikir-pikir akan diucapkannya.
(3) Manacika Parisudha
Pikiran mendapat perhatian besar dalam ajaran yoga, karena pikiranlah sumber dari segala apa yang dilakukan orang, sumber segala apa yang dikatakan orang. Bila pikiran menyuruh anggota badan diam, maka anggota badanpun diam, bila pikiran menyuruh mulut tak berkata maka mulutpun diam. Pikiranlah yang menentukan segala perbuatan orang. Hal ini dinyatakan dalam kitab Sarasamuccaya ayat 82 sebagai berikut :
Sarvam pasyati caksusman
Manoyuktena caksusa,
Manasi vyakule jate
Pasyannapi na pasyati.
Lawan tattwa niking manah, nyang mata wuwusanta, nag mulat ring sarwa wastu, manah juga sahaya ning mata nikan wulat, kunang yan wayakula manahny, tan ilu sumahayang mata, mulata towi nikang wastu, tan katon juga ya de nika, apan manah ikang wawarengo ngaranya hinganyan pradhanang manah kalinganika.
Terjemahan :
Dan lagi sifat pikiran itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai barang, tiada lain hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang.
Maka jika pikiran bingung atau kacau, tidak turut menyertai mata sungguhpun memandang pada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikiran itulah sebenarnya yang mengetahui. Sebab itu sesungguhnya pikiranlah yang memegang peranan utama.
Dalam kitab-kitab agama Hindu banyak sekali terdapat ajaran-ajaran yang membimbing pikiran menjadi baik dan suci. Demikian pula halnya dalam kitab Sarasamuccaya kita dapati banyak ajaran yang demikian. Khusus dalam uraian trikaya yang meliputi dasakarma pathascaret yaitu sepuluh jalan yang patut dikerjakan, menyebutkan tiga hal yang harus dipegang teguh dalam pikiran. Tiga hal itu seperti berikut :
Anabhidyam parasvesu
Sarvasatvesu carusam,
Karmanam phalamastiti
Trividham manasa caret.
Prawrttyaning manah rumuhun ajarakena, telu kwehnya, pratyekanya, si tan engine adenghya ri drbyaning len, si tan krodha ring sarwa sattwa, si mamituhwa ri hana ning karmaphala, nahan tang tiga ulahaning manah, kahrtaning indriya ika.
(S.S.74)
Terjemahan :
Prilaku pikiran terlebih dahulu akan dibicarakan tiga banyaknya, perinciannya ialah :
- Tidak ingin, tidak iri akan milik orang lain.
- Kasih saying terhadap semua makhluk .
- Percaya akan adanya karmaphala
Itulah tiga prilakunya pikiran yang merupakan pengendalian pikiran.
3) Hidup saling bantu membantu dan menghormati
Sebagaimana sudah kita maklumi manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu hidup bersama orang lain, karena satu dengan yang lainnya saling bergantungan. Sebenarnya setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan dari yang lain, baik berupa harta benda ataupun kemampuan. Karena itu bagi yang lebih harus bersedia menerima atau mendermakan kelebihannya kepada yang kurang dan yang kurang harus bersedia menerima dari yang lebih. Demikian kitab Sarasamuccaya mengajarkan kita supaya bersedia berdana karena sesungguhnya apa yang kita miliki adalah juga untuk menbantu orang lain. Hal ini kita baca dalam kitab Sarasamuccaya ayat 178 berikut ini :
Djanena kin janna dadati nasnute balena kin yena ripun na badhate, srutena kin yena na, dharma macaret kimatnayo na jitendriyo vasi.
Ndta kari doning dhana, yang tan danakkena, tan tan bhutin, mangkanang kasaktin, tan padan ika yan tan sadhana ning mangalahanang musuh, mangkanang aji, tan padon ika, yan tan suluha ring dharmasadhana, mangkanang buddhi kaprajnana tan padon ika yan tan pangalahakenendriya, tan pangawasakenang rajah tamah.
Terjemahan :
Apa gerangan gunanya kekayaan bila tidak untuk disedekahkan dan untuk dinikmati. Demikian pula kesaktian, tidak ada gunanya jika bukan alat untuk mengalahkan musuh. Demikian pula ajaran suci tidak ada gunanya bila tidak untuk suluh dalam pelaksanaan dharma. Demikian pula budi yang arif bijaksana tidak ada gunanya bila tidak untuk menaklukkan hawa nafsu, agar tidak dikuasai rajah tamas.
Demikianlah kitab Sarasamuccaya mengajarkan bahwa yang patut diberi dana adalah orang-orang yang berikut :
Caritraniyata rajan
Ye krsah krsavrttayah,
Arthinascopacchanti
Tesudattam maha phalam.
Lwirning yukti ikang wehana dana wwang suddhacara, wwang daridra, tan panemu ahara, wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong phalanika.
(S.S,187)
Terjemahan :
Orang yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan, pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya.
Jadi dengan demikian hidup ini harus bantu membantu karena setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain. Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita dapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi, makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak-injak, menindas yang lain. Dalam hubungan ini kitab Sarasamuccaya ayat 63 menasehatkan demikian :
Arjavam canrsamsyam ca
Damascendriyanigrahah,
Esa sadharano dharmas
Caturpvarnye ‘bravinmanuh.
Nyang ulah pasadharanan sang caturwarna, arjawa, si duga-duga bener, ansangsya, tan nrsangsya, nrsangsya ngaraning atmasukhapara, tan aimbhawa ri lara ring len, yawat mamuhara sukha ryawaknya, yatika nrsangsya ngaranya, gati ning tan mangkana, anrsangsya ngaranika, dama, tumangguhana awaknya, indriyagraha, humrta indriya, nahan tang prawrtti pat pasadharanan sang catur warna ling bhatara Manu.
Terjemahan :
Inilah prilaku keempat golongan yang patut dilaksanakan :
- Arjawa yaitu jujur dan terus terang.
- Anrsangsya artinya tidak nrsangsya.
Nrsangsya artinya mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan kesusahan orang lain, hanya mementingkan bagi dirinya. Itulah disebut nrsangsya. Tidak laku yang demikian, anrsangsya namanya.
- Dama artinya dapat menasehati diri sendiri.
- Indriyanigraha artinya mengekang hawa nafsu.
Keempat prilaku itulah yang harus dibinasahkan oleh sang catur warna. Demikianlah sabda bhatara Manu.
Dengan anrsangsya itu berarti pula kita harus hormat menghormati satu sama lain karena setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati. Diantara yang dihormati dalam pergaulan hidup bersama para guru dan ibu bapa mendapat penghormatan yang istimewa. Menurut kitab Sarasamuccaya ayat 242 bapak adalah :
- Sarirakrt yaitu yang mengadakan tubuh.
- Pranadata yaitu yang memberikan hidup.
- Annadata yaitu yang memberi makan.
Sedangkan ibu adalah sumber kasih sayang yang tiada taranya. Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih ibu. Dari ibulah mengalir kasih pertama meresapi tubuh kita. Pengertian yang demikian dinyatakan oleh ayat 244 kitab Sarasamuccaya. Maka itu hanya baktilah balasan kita kepada mereka itu bukan khianat, karena barang siapa berkhianat kepada mereka akan memikul dosa yang luar biasa. Kitab Sarasamuccaya ayat 234 mengatakan demikian :
Upadhyayam pitaram
Mataram ca ye’ bhidruhyanti manasa karmana va,
Tesam papam bhrunahatyavisistam nanyastasmat papa krccastiloke.
Hana pwa drohaka ring pangajyanya, ring bapebu kunang, maka karanang kaya, wak, manah, ikang mangkana kramanya, agong papanika, lwih sakeng papa ning bhrunaha ngaraning rurugarbha, sangksepanya atyanta papanika.
Terjamahan :
Jika ada orang yang berkhianat kepada guru, terhadap ibu dan bapa, dengan jalan perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat besarlah dosanya, lebih besar daripada dosa bhrunaha, bhrunaha artinya menggugurkan kandungan. Pendeknya, amat besarlah dosanya.
4) Dasa Yama Niyama Brata dan Rwa Wlas Brata Ning Brahmana
Bila dalam astangga yoga terdapat ajaran panca Yama niyama, maka dalam kitab Sarasamuccaya terdapatlah ajaran dasa yama niyama brata. Ajaran ini adalah ajaran etika yang amat luhur. Adapun dasa yama brata perinciannya seperti dibawah ini :
Anrsangsya ksama satyamahimsa dama arjavam,
Pritih prasado madhuryam mardavam ca yama dasa.
Nyang brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan, sapuluh, kwehnya, anrsangsya, ksama, satya, ahingsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, mardawa, nahan pratyekanya sapuluh, anrsangsya, si harimbawa, tan swartha kewala, ksama si kelan panastis, satya, si tan mrsawada, ahigsa, manuke sarwa, bhawa, dama, si upasama wruh mituturi manahnya, arjawa, si duga-duga bener, priti, si gong karuna, prasada heningning manah, madhurya, manisning wulat lawan wuwus, mardawa, pos ning manah.
(S.S.259)
Terjemahan :
Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian :
- Anrsangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja.
- Ksama yaitu tahan akan panas dan dingin.
- Satya yaitu tidak berdusta.
- Ahingsa yaitu membahagiakan semua makhluk.
- Dama yaitu sabar, dapat menasehati dirinya sendiri.
- Arjawa, tulus hati, berterus terang.
- Priti, sangat welas asih.
- Prasada, jernih hatinya.
- Madhurya, manisnya pandangan dan manisnya perkataan.
- Mardawa, lembut hatinya.
Demikian perincian dasa yama brata. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai dasa niyama brata yang ajarannya lebih banyak ajaran adhyatmika, ajaran yang mengarah kepada diri sendiri. Adapun perinciannya sebagai berikut :
Danamijya tapo dhyanam svadhyayopasthanigrahah vratopavasamaunam ca snanam ca niyama dasa. Nyang brata sapuluh kwehnya, ikang niyama ngaranya, pratyekanya, dana, ijya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mauna, snana, nahan ta awak ning niyama, dana weweh, annadanadi, ijya, dewapuja, pitrapujadi, tapa, kayasangsosana, kasatan ikang sarira, bhusarya, jalatyagadi, dhyana, ikang siwasmarana, swadhyaya, wedabhyasa, upasthanigraha, kahrta ning upastha, brata, annawarjadi, mauna, wacangyama, kahrtaning ujar, haywakecek kuneng, snana, trisangdhyasewana, madhyusa ring kala ning sandhya.
(S.S.260)
Terjemahan :
Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama perinciaannya :
- Dana yaitu pemberian, pemberian makanan, minuman dan lain-lainnya.
- Ijya yaitu pujaan kepada Dewa, kepada leluhur dan lain-lainnya, pujaan sejenis itu.
- Tapa yaitu pengekangan nafsu jasmaniah, seluruh badan kering berbaring di atas tanah, pantang air dan sebagainya.
- Dhyana yaitu terfokus merenungkan Bhatara Siwa.
- Swadhyaya yaitu mempelajari Weda.
- Upasthanigraha yaitu pengekangan upastha, pengekangan nafsu kelamin.
- Brata yaitu pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman.
- Mona yaitu wacang yama artinya menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata sama sekali, tidak bersuara.
- Snana yaitu trisandhya sewana mengikuti trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari.
Demikian perincian dasa niyama brata. Dalam uraian-uraiannya satu persatu upawasa tidak disebut, tetapi maksudnya telah dicakup dalam uraian brata walaupun tidak tepat sekali. Sebenarnya upawasa berarti puasa yaitu tidak makan pada waktu tertentu, untuk kesucian rohani. Sejajar dengan ajaran yama niyama brata ini adalah ajaran tentang rwa wlas brata sang Brahmana. Bahkan beberapa perinciannya ada yang sama dengan perincian yama niyama tersebut. Tentu saja yang dapat melaksanakan brata ini dapat disebut berpribadi brahmana, karena prilaku itulah yang menentukan nilai pribadi seseorang. Untuk adanya gambaran yang lebih jelas kami sajikan kutipan berikut ini :
Dharmasca satyam ca tapo damasca vimatsaritvam hristitiksanasuya,
Yajnasca danam ca dhrtih ksama ca mahavratani dvadasavai brahmanasya.
Nyang brata sang brahmana, rwa welas kwehnya, pratyekanya, dharma, satya, tapa, dama wimatsaritwa, hrih titiksa anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama nahan pratyekanyan rwa welas, dharma, satya pagwanya, tapa ngaranya sarira sangsona, kapanasaning sarira, piharan, kurangana wisaya, dama ngaranya upasama de ning tuturnya, wimatsaritwa ngaranya haywa irsya, hrih ngaran ing irang, wruha ring irang wih, titiksa, ngaraning haywa gong krodha, anasuya ngaraning haywa dosagrahi yajna magelem amuja, dana maweha danapunya, dhrti ngaraning maneb, ahning, ksama ngaraning kelan, nahan sang brahmana.
(S.S.57)
Terjemahan :
Inilah brata sang brahmana, dua belas banyaknya perinciaannya :
- Dharma, dari satya lah sumbernya.
- Tapa artinya sarira sangsona yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu.
- Dama yaitu tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri.
- Wimatsaritwa artinya tidak dengki iri hati.
- Hrih berarti malu, mempunyai rasa malu.
- Titiksa berarti jangan sangat gusar.
- Anasuya berarti tidak berbuat dosa.
- Yajna artinya mempunyai kemauan mengadakan pujian.
- Dana adalah memberikan sedekah.
- Dhrti adalah penenangan dan pensucian pikiran.
- Ksama artinya tahan uji.
Demikian brata sang Brahmana.
Dalam kitab Slokantara tidak ada uraian tentang tri guna atau suri asuri sampat sebagai kecenderungan-kecenderungan sifat manusia. Yang ada ialah lukisan sifat orang baik budi dan buruk budi. Dengan lukisan itu orang mendapat pedoman untuk membedakan lebih jauh akan perbedaan sifat orang baik budi dan buruk budi. Syair Slokantara yang melukiskan sifat-sifat baik itu ialah syair 31 sebagai berikut :
Nirdhano’pi narah sadhuh,
Karma nidyam na karayet,
Sardulaschinnapado’pi,
Trnam jatu na bhaksayet.
Kalinganya, sang sadhu jana, sira sang wwang uttama janma yadyapi sira nirdhana, kasyasiha tuwi, agaweha ta sira salah karya, salah idep, taha tan mangkana sang wwang utama janma, iwa padanya nihan, kadyangga ning sardula ngaranya macan, tugel jarijinya, pisaningu ika mamangana dukut, nora juga mangkana prawrttinya, apan enget ing pinanganya, mangkana ling ning aji.
(S.t.31)
Terjemahan :
Demikianlah bahwa sang sadhujana, yaitu orang yang lahir dari keluarga baik-baik, meskipun ia amat miskin menyedihkan, tetapi ia itu tidak akan mau mengajarkan dan memikirkan yang jahat-jahat. Hal ini dapat dibandingkan seekor harimau, walaupun cakarnya dipotong, tidak mungkin ia akan mau makan rumput, karena ia akan ingat apa yang harus dimakannya atas dasar kodratnya.
Demikian ajaran kitab suci.
Lebih lanjut akan dijelaskan mengenai baik dari orang-orang yang baik budi. Sifat-sifat itu adalah sifat-sifat mulia, sifat-sifat yang ideal yang sedapat-dapatnya harus dikerjakan orang. Kitab-kitab itu kita dapati dalam kitab Slokantara sebagai berikut :
Nihan ambek nawa nga. Narapwa sira siddha rahayu, lwirnya, andrayuga, gunabhiksama (sadhuniragraha), widagdha-prasama, wirotasadharana krtarajahita, tyaga-prasama, suralaksana, surapratyayana, sanga kwehnya, andrayuga nga. Prajna ning dharma tutur, watek angaji, widagdha wruh ring hala hayu, gunabhiksama, nga. Sadhu sira ring arta ning gusti, lumanglang sira ring paeweh, upeksa sira rorowang, anut sakrama ning wwang akweh, enak de nira krta rahayu, sadhuniragrhana nga, sadhu sira ning wawadon, tan cekap sira ring sama-sama wwang, widagdho prasanna nga, tan mamangan sira ingaturan sabda tan yogya, tan sungsut purik sira, prasanna buddhi nira enak, wirotasadharana nga, wani tan karahatan (tan?) asor ing ujar, mrih ring niti, krtajahita nga, wani asor, wruh ring kutaramanawadi, tyaga prasanna nga, tan panengguh anghel, yan ingutus de ning gusti, sura laksana nga, tan anengguh wedi enggal tan asowe, sura pratyayana nga, bhaktyagusti, sura laksana ring paprangan, tumangga ring pakeweh, rumaksa ring gusti, iti ambek nawa sanga, kayatnakna kramanya sowang-sowang, rahayu dahat yan kalaksanan.
(S.t.84)
Terjemahan :
Inilah perilaku yang dinamai nawasanga yang dapat menyebabkan hidup kita menjadi bahagia yaitu :
- Andrayuga artinya menguasai ajaran-ajaran dharma, segala macam pengetahuan, bijaksana dan tahu akan apa yang baik dan apa yang buruk.
- Gunabhiksana artinya jujur akan harta kepunyaan atasannya, selalu dapat mengatasi segala kesukaran, tidak melibatkan diri pada pertentangan yang timbul, sering sehaluan dengan kehendak umum dan berbahagia jika melakukan kebajikan.
- Sadhuniragraha artinya jujur terhadap wanita dan tidak menyakiti sesama manusia.
- Widagdha prasanna artinya tidak termakan oleh ucapan-ucapan tidak benar yang ditunjukkan kepadanya dan tidak merasa marah atau sedih, selalu bahagia dan tenang pikirannya.
- Wiratasadharana artinya keberaniannya tidak ada bandingannya, tidak bisa kalah dalam perdebatan dan selalu memegang keadilan hokum.
- Krtarajahita artinya tidak segan-segan mengalah (kalau merasa salah) dan memahami benar isi kitab hokum kutaramanawa dan lain-lainnya.
- Tyagaprasanna artinya tidak mengenal lelah jika sedang melakukan tugas yang dibebankan oleh atasannya.
- Surakaksana artinya tidak mengenal rasa takut, selalu cepat dan tidak lamban dalam bertindak.
- Surapratyayana artinya hormat dan setia pada atasan, tidak pernah mundur dari medan perang, tidak lari dari kesukaran, tetap waspada dalam menjawab atasan.
Selain sifat-sifat baik, Kitab Slokantara juga menyajikan lukisan sifat-sifat orang buruk budi yang tidak patut dituruti. Lukisan itu adalah sebagai berikut :
Mukham padmadalakaram vacascandanasitalam,
Hrdayam kartrasamyuktamityetad dhurtalaksanam.
Kalinganya, hana ta wwang mukhanya sumekar, kadi somya ning tarate mekar, wuwusnya matis, kadi serep ning candana linepaken ing sarira anis-nisi, amanis-manisi ring wwang kasyasih, ndan sinapa wani kang hati ring jro kadi kartra kartra ngaranya gunting, kadi landep ing pamangan ing gunting alanya, tibra ning irsya kumrenges kanugel griwa ning sadhu kasyasih, dahat anglarani, padanya kadi madhu mawor lawan racun, tuhun ing amanis-hala nikamatyani, yeka dustalaksanangaranya, saksat pawak ing sisa kalakuta, yeka rupa ning dasar ing kawah sangksepanya, tan ulaha sang jnama paromottama ika, ling sang hyang sastragama
(S.t.34)
Terjemahan :
Ada orang yang air mukanya manis menarik dan seperti tenangnya bunga teratai yang sedang mekar, kata-katanya sejuk seperti meresapnya sejuk air cendana yang dilepaskan pada badan. Ia manis dan penyayang tampaknya terhadap orang sengsara dan kemalangan. Walaupun tampaknya ia dapat dianggap sebagai pahlawan, namun sebenarnya, hatinya setajam gunting. Dalam mendekati ia itu sangat menakutkan. Dengan gigi dikeratnya ia patahlah leher orang-orang yang baik budi yang patut disayangi itu. Ia menyebabkan penderitaan yang maha hebat, yaitu sama dengan madu dicampur racun. Sebenarnya kemanisannya itulah kejahatan yang tidak kenal ampun. Sebenarnya ia racun terjahat dalam bentuk manusia, penjelmaan dasar neraka.
Kesimpulannya orang yang lahirnya mulia janganlah berbuat semacam ini. Inilah nasehat suci.
Demikianlah gambaran sifat-sifat orang buruk budi. Masih ada gambaran sifat-sifat buruk yang lebih panjang lebar dari uraian diatas ini yaitu pada ayat 84 kitab Slokatara yaitu sebagai berikut :
Nihan ambek dasa malanya. Tan yogya ulahakena lwirnya, tandri, kleda, leja, kuhaka, metraya, megata, ragastri, kotila, bhaksa-bhuwana, kimburu, tandri nga. Wwang sungkanan, leson balebeh sampeneh adoh ing rahayu, anghing hala juga kaharepnya, kleda nga, ambek angelem-elem, merangan maring harep, tan katekan pinaksanya, leja nga. Ambek tamah, agong trsna, agong lulut asih, maring hala, kutila nga. Parachidra, pesta peda ring kawelas asih, pramada pracale, norana wwang den keringi, kuhaka nga. Ambek krodha. Agong runtik, capala sabda bangga poraka, metraya nga. Bisagawe ujar mahala, sikara dumikara, wiwiki wiweka, sapa kadi sira, botarsa rabi ning arabi, tan hana ulahnya rahayu, yan metu sabdanyaarum amanis anghing hala ri dalem, tan papilih buddhi cawuh, kala ri hatinya purikan, raga stri nga. Bahud lanji, wawadonen, rambang panon, bhaksa bhuwana andenda sasama ning tumuwuh, akirya ring wwang sadhu, ardeng pangan inum, hangkara sabda prengkang, kimburu nga. Anghing gawene akirya-kirya drewe ning wwang sadhu, tan papilih, nora kadang sanak mitra, nyata memet drewe ning sang wiku. Mangkana karma ning dasa mala. Tan rahayu.
(S.t.84)
Terjemahan :
Inilah sifat-sifat dasa mala yang tidak layak dilakukan, yaitu :
- Tandri yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur saja, enggan bekerja, tidak tulus dan hanya ingin melakukan kejahatan.
- Kleda artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud-maksud orang lain.
- Leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan kejahatan.
- Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa dan menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk dan penipu. Tidak seorangpun berkawan baik dengannya.
- Kuhaka artinya orang pemarah, selalu mencari-cari kesalahan orang lain, berkata asal berkata dan sangat keras kepala.
- Metraya artinya orang yang hanya dapat berkata kasar dan suka menyakiti dan menyiksa orang lain, sombong pada diri sendiri, “siapa dapat menyamai aku” pikirnya. Ia suka mengganggu dan melarikan istri orang lain.
- Megata artinya tidak ada tingkahnya yang dapat dipuji. Meskipun ia berkata atau kata-katanya manis dan merendah, tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi susila, ia kejam.
- Ragastri artinya suka memperkosa perempuan baik-baik dan memandang mereka dengan mata penuh nafsu.
- Bhaksa bhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berpoya-poya dan berpesta-pesta melewati batas. Ia sombong. Kata-katanya selalu menyakiti telinga.
- Kimburu artinya orang yang menipu kepunyaan orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri milik para pendeta. Inilah tingkah orang yang melakukan kesepuluh dosa itu. Ini tidak bagus.
Demikian gambaran kecenderungan-kecenderungan sifat baik dan buruk dalam Slokantara.
Dalam ajaran etika dalam uraian ini disajikan uraian tentang :
1) Satya dan Dharma
Sejak jaman Veda ajaran satya ini sudah dijunjung tinggi dan kemudian berkembang dalam ajaran-ajaran yang menyusul kemudian. Dalam kitab Slokantara Satya dikaitkan dengan ajaran dharma. Satya adalah Dharmama yaitu dharma yang termulia. Tak ada yang lebih mulia dari pada satya dalam prilaku sebagai manusia. Dalam kitab Slokantara sloka 1 kita baca tentang satya ini seperti dibawah ini :
Brahmano va manusyanamadityo vapi tejasam,
Siro va sarwa gatresu dharmesu satyamuttaman.
Terjemahan :
Sebagai halnya golongan Brahmana diantara manusia, sebagai halnya matahari diantara sumber cahaya, sebagai halnya kepala diantara anggota badan, diantara dharma, kebenaranlah yang paling mulia.
Barang siapa yang melanggar satya berarti melanggar dharma, karena satya adalah dharma. Tentu saja orang yang melanggar satya akan tidak menemukan kerahayuan karena kodratnya sudah demikian. Karena itu kitab Slokantara berulang-ulang menyebut dan menyuruh kita melakukan dharma karena hanya dengan demikianlah orang dapat diseberangkan dari kesengsaraan menuju kebahagiaan. Itulah sebab kitab Slokantara menyuruh : “Kerjakanlah dharma”
Anityam yauvanam rupam anityo drawya samcayah,
Anityah priya samyogastasmad dharma samacaret.
Kalinganya, ikang kayowanan mwang rupa, tan lana jatinya, ikang kasugihan samuha ning drwya, tan lanai ka mwah ikang wwang amangan aturu lawan rabinya tan lanai ka, matangnyan ulahakna dharma juga, tan angalah-alaha samaning dadi janma, wenang matakwan salwir ing sinangguh dharma sasana ri sang pandita marapwan tan anemu papa, mangkana karma ning dadi janma.
(S.t.9)
Terjemahan :
Adapun keremajaan dan wajah yang tampan tidak kekal itu, sebenarnya. Kekayaan, semua hak milik tidak kekal itu dan orang yang makan dan tidur bersama istripun tidak kekal keadaannya. Oleh karena itu dharmalah yang pertama-tama harus diusahakan dan diperbuat. Sungguh tidak ada cacatnya menjadi manusia kalau senang menanyakan segala apa yang dinamakan dharma sasana pada sang pandita agar supaya tidak menemui beraka.
Demikian sepatutnya hal ikhwal menjadi manusia.
2) Catur Paramita
Catur paramita itu adalah ajaran tentang cinta kasih kepada semua makhluk. Kitab Sanghyang Kamahayanikan menyajikan catur paramita, versi lain dari ajaran tat twam asi. Kami sajikan catur paramita seperti dibawah ini :
Catur paramita ngaranya :
Metri, karuna, mudita, upeksa.
(S.K.68)
Terjemahan :
Catur paramita namanya :
- Metri ,
- Karuna,
- Mudita,
- Upeksa.
Metri ngaranya parahitakakrtwa, akara ning jnana sang satwa wisesa. Sang satwa wisesa ngaranya : sang tumaki-taki sat paramita, mwang catur paramita, sira ta satwa wisesa ngaranira. Akara ning jnana nira gumawe haywa ning para. Para ngaranya : sarbwa, stwa, kanisthamadhyamottama, ikang sih ning para tan phalapeksa, ya ta metri ngaranya.
Terjemahan :
Metri namanya : parahitakakrtwa, bentuk kesadaran sang satwa wisesa. Sang sattwa wisesa namanya ialah orang-orang yang benar menekuni sat paramita dan catur paramita, ia itulah sattwa wisesa namanya. Bentuk kesadarannya ialah mengusahakan kerahayuan para. Para namanya ialah semua makhluk yang rendah, sedang dan utama. Kasih sayang kepada semua makhluk tanpa mengindahkan kasih, disebut metri.
Karuna ngaranya : paradubkhawiyogecca, akara ning jnana.
Sang satwa wisesa ahyun hilangani dukha ning sarbwa satwa,
Terjemahan :
Karuna namanya ialah paraduhkhawigecca, yaitu bentuk kesadaran sang satwa wisesa yang menghendaki lenyapnya kesadaran semua makhluk.
Mudita ngaranya : parahitatustih satwawisesasya jnanasyakatah, inak ng akara ni jnana sang satwa wisesa, telas pagawayan ira metri karuna, mudita ngaranya.
Terjemahan :
Mudita namanya : parahitatustih sattva wisesasya karah ialah rasa senangnya batin sang satwa wisesa karena bahagianya semua makhluk sesudah melakukan metri, karuna. Itulah mudita namanya.
Upeksa ngaranya : labhanapeksa satwawisesasya, jnanasyakarah akara ni jnana sang satwa wisesa tanpa upeksa labha ngaranya : tan wawarengo ni jnana sang satwa wisesa ring welas, pujastuti gawayaken ikang metri karuna mudita ring satwa, makanimitta katonan I duhka ning satwa, yogya pagawayana upeksa.
Terjemahan :
Upeksa namanya : labhanapeksa satwawisesasya jnanasyakarah, ialah bentuk kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak mementingkan hasil. Tanpa upeksa labha namanya ialah kesadaran batin sang satwa wisesa yang tidak menghiraukan akan balasan, pujian-pujian, apalagi harta benda. Beliau mengerjakan metri, karuna, mudita pada semua makhluk, yang menyebabkan tampaknya kesengsaraan semua makhluk maka patut pula upeksa supaya dikerjakan.
3) Sapta Timira
Apabila rasa aku berkuasa atas diri orang maka ia dapat menjadi takabur, congkak lupa daratan. Rasa aku yang tak terkendali membawa orang pada kehinaan, kerendahan budi, karena bentuk penampilannya adalah bentuk congkak, tidak hormat kepada sesame , mementingkan diri sendiri, tidak tahu tenggang rasa dan sebagainya. Slokantara menyebutkan ada tiga sumber kemabukan yaitu : minuman keras, kepandaian dan kekayaan. Hal ini disebutkan dalam sloka 21 seperti berikut :
Sura saraswati laksmi,
Ityata madakaranam,
Mada yanti na cetamsi,
Sa eva puroso matah.
Kalinganya, ikang amuraha wero ring dadi wwang, tiga lwirnya, ndya ta, sura ngaranya twak, saraswati ngaranira sanghyang aji, laksmi ngaran ira kasugihan, mas pirak, ika ta karana ning wero munggwing citta, kunang yan hana wwang tan kataman wero dening twak, de ning bisanyangaji, dening kasugihan mas piraknya, yeka purusa ngaranya, yan hana wwang mangkana, byakta kinahyunaning rat, ling sang hyang aji.
(S.t.21)
Terjemahan :
Keterangannya, yang menyebabkan orang menjadi mabuk, tiga macamnya yaitu :
- Sura yaitu tuak,
- Saraswati yaitu pengetahuan,
- Laksmi yaitu kekayaan, seperti mas dan perak.
Itulah yang menyebabkan mabuk pikiran orang. Bila ada orang yang tidak kena mabuk karena tuak, karena pengetahuan, karena kekayaan mas perak, maka ia disebut purusa, manusia sejati. Bila ada orang yang demikin itu, benar-benar ia akan dicintai oleh masyarakat.
Jadi bukan saja tuak atau minuman semacam itu yang menyebabkan orang mabuk, namun juga pengetahuan dan kekayaan dapat menyeret orang memasuki dunia mabuk, sehingga lupa akan diri.
4) Sangsarga
Selain sebagai makhluk individu, manusia itu adalah juga makhluk berteman, didalam hidup berteman itu terjadilah interaksi antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan kelompok. Interaksi itu dapat membentuk pribadi seseorang, disamping pembawaan lahirnya. Selain itu suasana lingkungan juga dapat membentuk pribadi seseorang. Suasana lingkungan dapat membentuk pribadi yang baik tetapi juga dapat mendorong orang-orang terperosok jatuh ke dasar kehinaan. Disini kitab Slokantara memberi contoh mengenai pengaruh lingkungan terhadap kehidupan, akan dijelaskan sebagai berikut :
Gavasananam sa girah sronoti
Aha tu rajan muninam sronomi,
Pratyaksametad bhavatasi drstam,
Samsargaja dosaguna bhavanti.
Kalinganya, yan hana wwang masangsarga lawan wwang nica, niyata nika katularan budhi durjana nica, mangkana yan asangsarga lawan ikang wwang sadhu, katularan buddhi sadhu, drstopamanyatah, kadyangga nikang atat rwang siki, mangaran si Gawaksa mwang si Giwaksa, iakng asiki inalap ing taha buru, iningu nika, ikang asiki, inalap de sang pandita, iningu nira, karhancit hana ta sira ratu maburu-buru, kasasar ta sira prihawak, kawawa marery umah ning tuha buru, kahanan ikang atat si Girika, mojar tekang atat ring sang prabhu, lingnya, ndah mah tamah, siwak kapalanya, mangkana ta wuwus nikang atat, karengo de sang prabhu, alayu ta sira rumengo wuwusnya, ri wekasan ta sira, kawawa mareng patapan sang pandita, ri kahanan ikang atat si Gawaksa, dingaryan ta rahadyan sanghulun kasepera ring patapan, araryan ta laki, alungguha ring widig anar, manginanga wwah apiji, mwang sere anar, apuh mentah, yapwan anghel rahadyan sanghulun, masamwa ‘sri maharaja irikang wulakan, mangka ling nikang atat ri sira, kascaryan ta manah nira sang prabhu, rumengwaken ujar ikang atat, ri wekasan ta sang prabhu, matakwan ri sang pandita, nikang atat iningunira, mojar ta sang pandita, yan kawana de ning sangsarga nika, sangksepa nika sang sadhujana, haywa sira tan pamilipi sangsarga nira, ikang sayogyamuwuhana guna ri sira, haywa sira masangsarga lawan ikang wwang durjana, apan amawa mareng kawah ling sang hyang aji.
(S.t.45)
Terjemahan :
Jika ada orang bersahabat dengan orang yang rendah budinya tentulah orang itu akan kena pengaruh budi yang rendah dan jahat. Demikian pula jika bersahabat dengan orang yang baik budi akan kena pengaruh budi baik. Contohnya seperti halnya dua ekor burung atat yang bernama si Gawaksa dan si Giwika, yang satu ditangkap oleh seorang pemburu dan dipelihara, dan seekor lagi ditangkap oleh seorang pendeta dan dipeliharanya. Pada suatu hari ada seorang raja berburu, tersesatlah beliau seorang diri, terlunta-lunta hingga sampailah beliau dirumah seorang pemburu, tempatnya burung atat si Girika. Berkatalah burung atat itu kepada sang prabhu, katanya : “ah itu dia, makan, belah kepalanya”. Demikianlah kata burung atat itu, terdengarlah oleh sang prabhu, larilah beliau itu, sampai dipertapaan sang pendeta, tempatnya burung atat si Gawaksa. Berkatalah burung itu, katanya : “Duhai, bahagialah tuanku raja! Sayang tuanku terlunta-lunta sampai dipertapaan ini, silahkan istirahat dan duduk dibalai-balai yang baru itu, sambil makan buah ampiji, sirih muda, kapur mentah. Bila tuanku letih, silahkan tuanku mandi dikolam itu” Demikianlah kata burung atat itu kepada baginda. Heranlah hati baginda raja mendengar kata-kata burung atat itu. Pada akhirnya baginda raja bertanya kepada sang pendeta, tentang burung atat yang dipeliharanya itu. Menjawablah sang pendeta : “Sesungguhnya hal itu disebabkan oleh karena persahabata, kesimpulannya bagi orang yang baikbudi janganlah ia tidak memilih sahabat, pilihlah yang dapat menambah kebijaksanaan janganlah ia bersahabat dengan orang jahat, sebab orang yang akan mengantar ke neraka. Demikianlah ajaran agama menyebutkan.
Etika Hindu dalam Nitisastra
Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini boleh jadi karena Maharesi Canakya disamping menulis buku Niti Sastra yang berisi ajaran tentang etika dan moralitas, juga menulis buku Artha Sastra yang berisi ajaran mengenai ilmu politik dan pemerintahan. Dalam kamus pun Niti Sastra lebih didahulukan pengertiannya sebagai ilmu etika, moralitas dan sopan santun, meski pada akhirnya diartikan juga sebagai ilmu politik. Niti Sastra dengan kata Niti memang berarti to lead, memimpin, membimbing, mendidik orang bagaimana bergaul dan bertindak serta bagaimana mengembangkan cinta kasih dan bhakti kepada Tuhan. Dalam hal ini orang dibimbing kearah kebaikan, kejalan terang, kearah cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (geogle, 3/7/2012, 13:19).
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai etika berguru sebagai berikut :
Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1:
" Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh".
Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".
Sloka Canakya Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru, ajaran bhakti, sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, etika sosial dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial untuk mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah ada pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru kepada Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. KataTamu ini adalah spirit yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu seluruh sekalian alam (Tuhan) (geogle, 3/7/2012, 13:20).
Nitisastra
Selain sebagai ilmu politik, sesungguhnya Niti Sastra lebih banyak mengajarkan ilmu pengetahuan tentang etika, moralitas serta budi pekerti, tata pergaulan hidup dengan semua makhluk dan bagaimana memusatkan perhatian atau pelayanan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun etika berguru seperti tersirat di bawah ini
Canakya Nitisastra, Adhyaya V. Sloka 1:
" Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh".
Terjemahan.
"Dewa Agni adalah Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmanaadalah Guru bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar