ॐ नमः शिवाय

Rabu, 29 Juli 2015

Mepandes/ Metatah/ Mesangih/ Potong Gigi


Metatah atau "Mesangih" atau "Mepandes" adalah upacara potong gigi yang bermakna untuk menemukan hakekat manusia sejati yang terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.
Istilah metatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara pelaksanaan upacara potong gigi yaitu kedua taring atas dan empat gigi seri pada rahang atas dipahat tiga kali secara simbolis sebelum pengasahan (perataan) giginya dilakukan lebih lanjut. Rupa – rupanya dari hal itulah muncul istilah matatah.
Potong gigi yang merupakan bagian dari manusa yadnya sebagai simbolis dilakukan pada orang yang sudah menginjak dewasa sebagaimana disebutkan dalam ringkasan upacara yadnya, semua itu bisa dilihat dari perubahan fisik dari orang yang bersangkutan.

  • Pada wanita dapat dilakukan setelah mendapatkan menstruasi yang pertama, 
  • dan untuk pria biasanya setelah mengalami perubahan suara.
Itu tidak berarti bahwa upacara ini harus dilakukan setelah perubahan tadi, tetapi mereka juga akan melihat faktor yang lain seperti hari baik atau dewasa ayu dan yang paling pentingfinansialnya.
Pada umumnya masyarakat di Bali akan melakukan upacara ini setelah anak bungsunya menginjak dewasa. Jadi mereka dapat melakukannya besama-sama dengan semua anak-anaknya.
Tujuan dari upacara ini secara hindu dipercayai untuk meminimalkan sifat negatif dari orang yang bersangkutan,

  • bukan berarti bahwa setelah upacara ini dilakukan orang itu akan menjadi baik. 
  • Akan kembali lagi kepada pribadi masing-masing.


Gigi yang akan dipotong yaitu gigi depan atas berjumlah 6 buah, mulai dari gigi taring, dimana gigi taring merupakan simbol dari ketamakan/kerakusan.
Upacara metatah ini biasanya dapat dirangkaikan dengan upacara ngaben atau pernikahan (pawiwahan) yang dilakukan oleh pendeta / sulinggih.
Lebih lanjut tentang metatah ini dijelaskan dalam beberapa lontar tentang upacara agama hindu seperti : Lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama, dan lontar Puja Kalapati, upacara potong gigi disebut “ atatah”.

Sampai kini ada tiga istilah di Bali yang lazimnya digunakan untuk menyebut Upacara Potong Gigi ;
  • “Matatah”, “mepandas”, “mesangih”. Kata “ atatah” berarti pahat. Istilah metatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara pelaksanaan upacara potong gigi yaitu kedua taring atas dan empat gigi seri pada rahang atas dipahat tiga kali secara simbolis sebelum pengasahan (perataan) giginya dilakukan lebih lanjut. Rupa – rupanya dari hal itulah muncul istilah matatah.
  • “Mesangih”, rupa –rupanya dimunculkan dari pada mengasah gigi seri dan taring atas dengan pengasah yaitu kikir dan sangihan – pengilap, sehingga gigi seri dan taring menjadi rata dan mengkilap. Kata mesangih dalambahasa Bali biasa dan Bali halusnya disebut Mepandes. Maka dari itulah muncul tiga istilah upacara potong gigi di Bali.

Upacara ini juga disebutkan mengandung pengertian yang dalam bagi kehidupan umat Hindu yaitu :
  • Pergantian prilaku untuk menjadi manusia sejati yang telah dapat mengendalikan diri dari godaan pengaruh sadripu.
  • Memenuhi kewajiban orang tuanya pada anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang sejati
  • Untuk bertemu kembali di Sorga (swah loka) antara anak dengan orang tuanya setelah sama – sama meninggal dunia.

Dari pengertian ini dapatlah, bahwa upacara potong gigi adalah suatu upacara penting dalam kehidupan umat Hindu, karena bermakna menghilangkan kotoran diri (nyupat) sehingga menemukan hakekat manusia sejati dan terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.

Lontar Atmaprasangsa menyebutkan bahwa,
apabila tidak melakukan upacara potong gigi maka rohnya akan mendapat hukuman dari betara Yamadipati di dalam neraka (Kawah Candragomuka ) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya upacara ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi manusia sejati yang di sebut dengan Dharmaning Darma-Rena Ring Putra.

Maka itulah orang tua di kalangan umat Hindu berusaha semasa hidupnya menunaikan kewajiban terhadap anaknya dengan melaksanakan upacara potong gigi. Guna membalas jasa Orang tuanya maka anak berkewajiban upacaraPitra Yadnya atau Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia, sesuai dengan Dharmaning Putra Ring Rama Rena. Berbakti kepada orang tuanya sesuai ajara Putra Sesana.

# Tujuan Upacara Potong Gigi
  • Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.
  • Untuk dapat bertemu kembali dengan bapa dan ibu yang telah berwujud suci.
  • Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati berupa mengigit pangkal bambu petung.
  • Memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.

# TATACARA PELAKSANAAN

Berdasarkan ketentuan dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, bahwa tahapan upacara potong gigi disebutkan sebagai berikut :
  • Magumi padangan, Upacara ini juga di sebut mesakapan kepawon dan dilaksanakan di dapur.
  • Nekeb, Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong
  • Mabyakala, Ini dilakukan di halaman rumah di depan meten atau gedong.
  • Ke Merajan, atau tempat suci di dalam rumah. Urut – urutan upacara di merajan yaitu : Mohon penugrahan kepada Bhatara Hyang Guru, Menyembah Ibu dan Bapak, Ngayab caru ayam putih, Mohon tirtha (air suci) kepada Bhatara Hyang Guru, Ngerajah gigi (Menulis gigi dengan wijaksara) dan Di pahat taringnya secara tiga kali.
Menuju ketempat potong gigi, Urut – urutan upacaranya :
  • Sembahyang kepada Bhatara Surya dan kepada Bhatara Sang Hyang Semara Ratih dan mohon tirtha kepada beliau berdua. 
  • Ngayab banten pengawak di bale dangin
  • Metatah atau memotong / mengasah dua buah taring dan empat buah gigi seri pada rahang atas dan Turun dari tempat potong gigi, jalannya ke hilir dengan menginjak banten paningkeb.
Kembali ke meten / gedong tempat ngekeb. Bila ingin berganti pakaian, sekarang bias dilakukan mejaya – jaya di merajan. Urutan upacaranya :
  • Mabyakala
  • Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samudaya.
  • Menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh – eteh persediaan : prayascita, Pangrabodan, Ngayab pungun – pungun dan pajejiwan, Matirtha penglukatan, pebersihan dan kekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten otonan, Ngayab banten pawinten-digunakan dan Mapadamel
  • Kembali ke meten/gedong tempat ngekeb.
  • Mapinton ke Pura Kahyangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi pujaannya.

Upacara adalah lapisan paling luar dari Agama, karena upacara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu kesatuan agama secara utuh. Secara etimologi kata upacara berasal dari kata Sansekerta yaitu “Upa” dan “Cara”. “Upa” berarti sekeliling atau menunjuk kesegala arah dan “Cara” berarti gerak atau aktivitas. Upacara berarti gerak sekeliling kehidupan manusia atau aktivitas – aktivitas manusia dalam upayanya menghubungkan diri dengan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang dilakukan tidak asal-salan melainkan berdasarkan dari kitab suci dan sastra – sastra yang dibentangkan dalam berbagai pustaka. Dalam Agama Hindu Upacara dapat dibagi menjadi lima bagian atau Panca Yadnya yaitu: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Butha Yadnya. Salah satu Upacara yaitu Manusa Ydnya yang di bahas dalam topik ini adalah Upacara Potong Gigi.
Kehidupan seorang manusia keturunan Hindu Bali tak pernah lepas dari upacara adat dan keagamaan, sejak ia dilahirkan hingga pada saat tibannya kematian. Berbagai ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, diperuntukan sebagai penyeimbang, baik kehidupan manusia dengan Sang Khalik maupun manusia dengan alam dan kehidupan sesama manusia. Salah satu upacara keagamaan yang masih dijalankan masyarakat Bali adalah tradisi potong gigi. Dalam bahasa lokal, ini disebut dengan Metatah atau Mepandes atau Masangih. Tradisi Mepandes ini digelar saat seorang anak sudah menginjak usia dewasa yaitu pada saat seseorang sudah menstruasi untuk perempuan dan membesarnya suara untuk laki-laki. Upacara ini mengandung pengertian yang dalam bagi kehidupan umat Hindu yaitu :
1. Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa dan raga diliputi oleh watak Sad     Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.
2. Untuk dapat bertemu kembali dengan bapa dan ibu yang telah berwujud suci.
3. Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati berupa mengigit pangkal bambu petung.
4. Untuk memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.

Sedangkan rangkaian Upacara Potong Gigi di Bali yaitu sebagai berikut:
• Setelah sulinggih ngarga tirta, mereresik dan mapiuning di Sangah Surya, maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan madya, setelah itu mereka memuja Hyang raditya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
• Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
• Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
• Selama mepandes, air kumur dibuang di sebuah nyuh gading agar tidak menimbulkan keletehan.
• Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
• Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu, mempunyai pandangan luas dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.
• Natab banten, tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
• Metapak, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua, juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.

Di dalam Lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama, dan lontar Puja Kalapati, upacara potong gigi disebut “ atatah”. Sampai kini ada tiga istilah di Bali yang lazimnya digunakan untuk menyebut upacara potong gigi atau “matatah”, “mepandas”, “mesangih”. Kata “ atatah” berarti pahat. Istilah metatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara pelaksanaan upacara potong gigi yaitu kedua taring atas kiri dan kanan serta empat gigi seri pada rahang atas dipahat tiga kali secara simbolis sebelum pengasahan (perataan) giginya dilakukan lebih lanjut. Rupanya dari hal itulah muncul istilah matatah. Setelah itu gigi diratakan kemudian dikilapkan dan dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.
Sementara pada Lontar Atmaprasangsa menyebutkan bahwa, apabila seseorang tidak melakukan upacara potong gigi maka rohnya akan mendapat hukuman dari betara Yamadipati di dalam neraka (Kawah Candragomuka) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya upacara ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi manusia sejati yang disebut dengan Dharmaning Darma-Rena Ring Putra. Maka itulah orang tua di kalangan umat Hindu berusaha semasa hidupnya menunaikan kewajiban terhadap anaknya dengan melaksanakan upacara potong gigi. Guna membalas jasa orang tuanya maka anak berkewajiban melakukan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia, sesuai dengan Dharmaning Putra Ring Rama Rena yaitu berbakti kepada orang tuanya sesuai ajaran Putra Sesana.
Karena itu sejak kecil pergaulan remaja di Bali diberikan sesuai ajaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Penelitian yang dilakukan oleh Center for Indigenous and Health Psychology Udayana, pusat studi psikologi kesehatan dan kearifan lokal di Bali, juga menunjukkan hasil serupa. Penelitian menunjukkan bahwa Mepandes dimaknai bukan saja sebagai ritual keagamaan, Mepandes juga dianggap sebagai sarana pembentukan identitas diri. Makna inilah yang sangat penting untuk dipahami, dihayati, ditingkatkan secara berkesinambungan, karena mereka sebagai umat Hindu tidak ingin kehilangan jiwa, hati nurani, terasing dari masyarakat dan kehilangan kepribadian dalam masyarakat metropolis di era globalisasi ini.
Mepandes sesungguhnya berpotensi untuk menjadi daya tarik wisata seperti upacara Ngaben, namun kesakralan upacara ini membuat wisatawan tidak leluasa. Untuk menjaga kesucian, pengunjung harus digendong untuk masuk kepelataran rumah. Bahkan, keluar rumah juga memberi kesempatan bagi hal-hal buruk yang tidak kasat untuk menyerang. Di sekitar bale tempat menunggu pun hanya ada pandita sebagai pemimpin upacara keagamaan, sangging yang bertugas mengasah gigi, dan ibu kandung yang akan menjemput sebelum sangih dilakukan. Meski demikian, tidak seluruh keluarga menganggap upacara ini harus sedemikian tertutup dan sakral.

Bali memiliki banyak berbagai warisan budaya leluhur yang masih tertanam dan melekat erat di tengah masyarakat. Seluruh masyarakatnya bertekad mempertahankan tradisi supaya tidak tergilas atau bergeser karena pengaruh dunia modern. Walaupun zaman sudah berkembang, namun ritual terus dijaga, mereka tetap menjalankan ritual keagamaan dan itu salah satunya upacara potong gigi.
Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara potong gigi atau mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Śraddhā dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar