ॐ नमः शिवाय

Senin, 27 Juli 2015

Hukum Perlindungan Anak Menurut Sumber - Sumber Hukum Hindu



Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja seks anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang dan konflik bersenjata.
Masalah anak merupakan maslah yang amat serius dan membutuhkan peran serta dari semua pihak terkait untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul terhadapnya. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam bidang anak tetapi peran utama orang tua dan agama memegang peranan yang amat penting. Sebagai negara beragama, yang dimana segala aspek kehidupannya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai ajaran agama sebagai landasan dasarnya termasuk dalam hal ini yaitu mengenai perlindungan terhadap anak. Yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah, adakah hukum atau aturan dari agama Hindu yang menyinggung tentang kedudukan serta upaya-upaya terhadap perlindungan hak-hak sebagai seorang anak atau genarasi penerus Hindu?
Secara fakta sejarah Agama hindu merupakan agama tertua di dunia, ini berarti agama Hindu merupakan agama yang paling lama mengalami perkembangannya hingga pada saat ini. Berdasarkan pada sumber-sumber hukum Hindu ternyata diketemukan bahwa agama Hindu melalui kitab-kitab hukumnya telah mengatur tentang anak baik itu kedudukan si anak ataupun hak-haknya yang patut mendapatkan perlindungan.
Menurut fakta sejarah Agama Hindu adalah agama pertama sekaligus tertua di dunia yang lahir dan berkembang di lembah sungai Sindhu, India. Agama Hindu memilki Weda sebagai kitab suci dan sumber ajaran utama bagi umatnya. Kitab suci Weda memuat berbagai aspek dalam relung sendi kehidupan manusia mulai dari aspek religi( hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta segala yang ada), aspek ekonomi, politik dan kehidupan sosial masyarakat khususnya masyarkata Hindu dan masyarakat dunia secara umum hal ini dikarenakan ajaran-ajaran agama Hindu yang bersifat Universal dan fleksibel dan terbuka bagi setiap umat manusia. Tidak hanya sampai disana, Weda ternyata juga mengkaji tentang anak yaitu mengenai kedudukan serta berbagai upaya-upaya perlindungan terhadap anak yang tertuang dalam beberapa kitab-kitab bagian dari kitab Weda sebagai sumber ajaran utama bagi Umat Hindu.
Mengenai kedudukan anak menurut hukum Hindu diantanya tertuang di dalam:
Dalam Kitab Manawa Dharmasastra IX.138
“Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orangtuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tak memiliki keturunan), karena itu ia disebut putra”.
Dari sloka diatas dijelaskan bahwa anak atau putra menduduki posisi yang amat penting yaitu yang akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka. Karena pada hakektanya anak merupakan penerima serta penerus hak dan kewajiban orang tuanya.
Selanjutnya didalam pasal 45 Navanodhyayah Veda Smerti disebutkan:
“Ia hanya merupakan orang yang sempurna yang terdiri atas tiga orang yang menjadi satu istrinya, ia sendiri, dan keturunannya…”
Dari sloka diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga inti terdiri atas ayah sebagai suami, istri dan anak-anaknya, jadi anak menduduki posisi yang amat penting dalam suatu kelurga. Adalah kurang lengkap jika dalam sebuah kelurga tanpa hadirnya seorang anak.
Didalam Sarasamuccaya sloka 228, menyebutkan bahwa
“Yang dianggap anak adalah orang yang menjadi pelindung dari orang yang memerlukan pertolongan serta sebagai penolong kaum kerabat yang tertimpa penderitaan..”
Begitulah kedudukan anak yang menduduki posisi yang amat penting dalam suatu keluarga menurut hukum Hindu.
Setiap anak yang beragama hindu menurut hukum Hindu adalah sebagai subjek hukum Hindu, yang mempunyai hak-hak serta kewajibannya sebagai anak. Hak-hak sebagai subjek hukum Hindu pada umumnya diperoleh dari sejak yang bersangkutan masih dalam kandungan sampai dengan yang bersangkutan meninggal dunia.
Di dalam Manawa Dharmasasta Buku II sloka ke 6 menyebutkan bahwa
Seluruh Weda (Sruti) adalah sumber pertama dari Dharmasastra (Smerti) kemudian adat kebiasaan(Acara), dan tingkah laku yang terpuji dari orang-orang yang mendalami Weda(Sila), juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri sendiri(Atmanastuti).
Menurut sloka diatas dijelaskan mengenai sumber sumber hukum Hindu yang diantaranya yaitu
-          Weda atau Sruti sebagai sumber pengetahuan utama yang didasarkan pada kemekaran intuisi para Maharsi penerima wahyu
-          Smerti atau yang disebut dengan Dharmasastra
-          Acara atau adat kebiasaan yang dipercayai serta dilaksanakan secara terus menerus dalam wilayah tertentu
-          Sila yaitu tingkah laku terpuji dan luhur dari para Brahmana atau orang suci yang mendalami Weda atau orang-oarang yang berbudi pekarti luhur serta berpengetahuan suci
-          Atmanastuti yaitu rasa kepuasan diri sendiri
Sumber-sumber hukum Hindu diatas merupakan sumber aturan utama yang dijadikan dasar dalam berperilaku dan bertindak bagi umat Hindu. Sumber – sumber hukum tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya aspek anak dan perlindungan terhadapnya. Beberapa sloka yang berkaitan dengan anak dan sebagai salah satu dasar aturan bagi perlindungan anak menurut hukum Hindu antara lain:


  1. MANAWA DHAMASASATRA
Waisikah karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca (Manawa Dharmasasta, II.26)
 Artinya:
Sesuai dengan ketentuan – ketentuan veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan  pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim ibu ………..
Dalam sloka ini dinyatakan bahwa seorang anak mendapat jaminan berupa upacara penyucian semenjak dalam kandungan bahkan semenjak terjadinya pembuahan di dalam rahim ibu, ditegaskan bahwa semenjak terjadi pembuahan, si anak sudah mendapatkan perhatian dan perlindungan dan orang tua serta pihak-pihak lainnya berkewajiban untuk melindungi keberadaannya.
Garbhairhomairjatakarma caudamaujini bandhanah,
Baijikam garbhikam caino dwijanampamrjyate (Manawa Dharmasasta,II. 28)
Artinya:
Dengan upacara membakar bau-bau harum pada waktu hamil sang ibu, dengan upacara jatakrama( bayi waktu lahir), upacara cauda(upacara gunting rambut pertama), dan upacara maunji bandhana(memberi kalung atau gelang)
Berdasarkan sloka diatas dijelaskan bahwa seorang anak mendapat jaminan terhadap perlindungan tehadapnya semenjak si anak berada di dalam kandung si ibu,  saat si anak lahir, pemotongan rambut pertama  hingga pada pemberian kalung dan gelang sebagai ungkapan rasa sayang dan cinta kasih orang tua terhadap si anak.
Didalam pasal 3 Navano’dhyayah Manawadharmasastra yang menyebutkan sebagai berikut:
            Pita raksati kaumare bhartta raksati yauvane,
            Raksani sthavire putra na stri svatantryam arhati
 “Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kecil dan setelah dewasa suaminyalah yang melindungi dan melindungi ptra-putranya…...”
            Pasal 148 Pancamo’dhyayah Manawadharmasastra disebutkan, bahwa:
            Balye piturvase tisthet panigrahasya yauvane
            Putranam bhartari prete na bhajet stri svatantratam
“Pada waktu masih kanak-kanak seorang wanita menjadi tanggungan ayahnya;……….”
Dari kedua sloka diatas dapat dikatakan bahwa anak-anak yang belum dewasa menurut hukum Hindu mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dan tanggungan dari orang tua atau ayahnya, dan orang tua atau seorang ayah wajib melindungi anak-anaknya yang belum dewasa. Hak untuk mendapatkan perlindungan, maksudnya bahwa anak-anak itu harus benar-benar dirawat sampai dengan dewasa, dipenuhi kebutuhan kesehatannya. Hak untuk mendapat tanggungan untuk mendapatkan pendidikan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memilki hak sebagai seorang anak juga mempunayai kewajiban yang wajb untuk dilaksanakan.

  1. SARASAMUCCAYA
Di dalam kitab Sarasamuccaya sloka 243 menyebutkan:
yang disebut anak, patutnya membuat si bapa agar puas hatinya; sedangkan si bapa, sebanyak-banyaknya kesenangan si anak dikerjakan olehnya, sebab tidak ada yang dikikirkan si bapa, badannya sekalipun  akan direlakan.
Disini dijelaskan bahwa si bapak (orang tua si anak) berkewajiban untuk  mengusahakan segala hal untuk kebahagian si anak. Orang tua berkewajiban dan memilki  tanggung jawab atas kebahagian dan kesejahteraan si anak.
Di dalam kitab Sarasamuccaya sloka 244 menyebutkan:
…..Demikian si ibu, rata benar-benar cinta kasihnya kepada si anak-anaknya, sebab baik cakap ataupun tidak cakap, berkebajikan atau tidak berkebajikan, miskin atau kaya anak-anaknya itu semua dijaga baik-baik olehnya, dan diasuhnya mereka itu; tidak ada yang melebihi kecintaan beliau dalam hal mengasihi dan mengasuh aank-anaknya.
Dari penjelasan sloka diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua tanpa memandang status sosial dan ekonominya sebagai orang kaya atau miskin, cakap maupun tidak cakap, berpendidikan atau tidak berpendidikan, wajib untuk menjaga, memelihara serta mengasihi dan mencintai anaknya karena sesungguhnya tiada cinta yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anaknya. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam sloka ini jika dikaitkan dengan UU perlindungan anak di Indonesia  yaitu UU No 23 Tahun 2002 bahwa hal ini sangat berkaitan dan sesuai bahwa seorang anak mendapat jaminan terhadap perlindungan untuk hidup dan perlindungan dari oaring tuanya.
  1. NITISASTRA
Di dalam kekawin Nitisastra V.1 disebutkan bahwa:
Taki-takining sewaka guna widya
Smara wisaya rwang puluh ring ayusa.
Tengahi tuwuh san wacana gegen ta.
Patilaring atmeng tanu paguruken

Maksudnya:
Bersiap sedialah selalu mengabdi pada ilmu pengetahuan yang berguna. Hal yang menyangkut asmara setelah berumur dua puluh tahun. Setelah berusia setengah umur menjadi penasihatlah pegangannya. Setelah itu hanya memikirkan lepasnya Atmanlah yang menjadi perhatian.
Dari sloka diatas dapat disimpulkan bahwa masa muda dalam hal ini yaitu masa anak-anak merupkan masa menuntut ilmu pengetahuan yang berguna nantinya untuk diterapkan dalam masa grhasta serta masa-masa selanjutnya setelah menikah. Jaminan terhadap anak dalam mengenyam pendidikan menjadi sasaran dalam sloka ini, artinya sloka ini mamberi jaminan hukum terhadap anak-anak dalam menuntut ilmu pengetahuan atau berhak atas pendidikan yang layak

  1. SILAKRAMA
Di dalam buku Dharma Sastra oleh Oka Punyatmdja pada sub pokok bahasan himpunan sloka Weda  diantaranya yaitu:
sloka 58 menyebutkan bahwa:
… membunuh lembu,  membunuh seorang gadis, mengambil nyawa seorang anak dan orang lanjut usia, membakar rumah, (perbuatan) ini dikatakan sungguh berdosa (Upapataka).
Dari penjelasan sloka diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu perbuatan yang sangat atau sungguh berdosa adalah mengambil nyawa seorang anak atau bila bila kita kaitkan dalam kehidupan saat ini yaitu pada kasus aborsi maupun jual beli organ tubuh anak yang mengancam  kesehatan dan nyawa si anak.
Selanjutnya dalam sloka 80 disebutkan
Perlakuan seorang anak sebagai raja sampai usia lima tahun, dalam waktu sepuluh tahun( sesudah usia lima tahun) sebagai pembantu, pada usia enam belas tahun( keatas), bagaikan sahabat. Demikian (ajaran) Putrasasana ( ketentuan untuk orang tua mendidik anak-anaknya.
Dalam sloka diatas dijelaskan bahwa  seharusnya orang tua mendidik  anaknya dengan berbagai cara sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Orang tua dalam mendidik anaknya harus terlabih dahulu memperhatikan tingkat perkembangan si anak, pemilihan pendidikan pada anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pendidikan anak harus dibedakan caranya pada anak yang berada pada tingkat bayi (usia sampai lima tahun) harus diperhatian atau membutuhkan perhaitan secara penuh dari orang tua karena belum mampu mengerjakan segala sesuatunya secara sendiri seperti makan, mandi, menggunakan baju dan lainnya. Setelah usia lebih dari lima tahun hingga lima belas tahun atau usia remaja  harus diperlakukan sebagai pembantu artinya umur atau usia ini merupakan usia yang labil dan banyak membutuhkan perhatian serta bimbingan dari orang tuanya. Pada masa remaja ini anak-anak membutuhkan bimbingan mengenai mana yang benar dan mana yang tidak benar, oarng tua harus mampu memberi contoh kepada anak-anaknya sehingga si anak memperoleh pedoman yang benar dalam bertindak dan berperilaku yag sesuai dengan ajaran darma. Selanjutnya pada usia diatas enam belas tahun sia nak harus dibri kebebasan untuk memilih dan patutnya dianggap sebgai sahabat, diajak untuk bertukar pikaran dalam mangatasi sagal permasalahan karena si anak pada saat ini dapat dikatakan sudah mulai dipersiapkan untuk memasuki masa dewasa.
Selanjutnya dalam sloka  82 disebutkan
Bila ank-anak tiada tedidik, karena kelalaian atau cinta berlebihan seorang ayah, pasti anak itu akan menjadi jahat dan ditinggalkan semua orang. Dosa-dosa(anak-anak)nya itu membawa amat ternoda nama ayahnya.
Disini dijelaskan bahwa anak-anak  merupakan cerminan  orang tua, jika si anak terlantar dan menjadi tidak terdidik ataupun menjadi pelaku tindak criminal maka yang bertanggung jawab atas ini semua adalah orang tuanya. Orang tua berhak dan berkewajiban memperhatikan segala hal terkait anaknya termasuk hal pendidikan, kesehatan, maupun kesejahteraan sosial.
  1. SLOKANTARA
Di dalam Sloka 23 butir 49 Slokantara disebutkan bahwa:
“Jika anak itu selalu dimanjakan dan tidak pernah dilarang dalam hal apapun juga, akhirnya anak akan biasa pada perbuatan-perbuatan yang salah. Jika anak itu dihukum sebagai bagian dari pendidikannya, pasti ia akan jadi orang baik. Oleh karena itu sang anak atau murid itu harus diberikan hukuman dimana perlu guna mencapai ketinggian pribadinya. Jangan ditunjukan kesayangan yang berlebih-lebihan terhadapnya.
Disini dapat diartikan bahwa seorang anak berhak atas pengajaran dan pendidikan mengenai segala hal yang dianggap patut dan tidak patut serta jika ia bersalah si anak juga berhak atas hukuman yang tujuannya tiada lain untuk mendidik si anak agar menjadi anak yang berkepribadian, berkarakter dan berbudi pekerti luhur sehingga terwujud generasi atau putra yang suputra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar