ॐ नमः शिवाय

Rabu, 29 Juli 2015

Makna dan Tujuan Upacara Ngaben


Makna dan Tujuan Upacara Ngaben
Secara garis besarnya Ngaben adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi ke alam pitra.
Ada sebuah buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, tepatnya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;
Wahai manusia, badanmu yang dibuat oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya akan mendapat moksa.
Oleh karena itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah perbuatanmu.
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam hal ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya harus dibuat menjadi abu agar atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara ngaben langsung bisa mencapai surga atau moksa? Jika menurut kami sepertinya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas pada kalimat terakhir. “Ingatlah perbuatanmu” tentunya ketika kita sudah meninggal kita akan mempertanggung jawabkan perbuatan kita semasa hidup. Apakah pantas atau tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.

Pelaksanaan Upacara Ngaben

Ngaben merupakan upacara yang besar dan tentunya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bagaimanakah bagi mereka yang kurang mampu? Agama Hindu fleksibel dan tentunya ada kebijakan-kebijakan mengenai kondisi demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang tentu dari segi biaya akan lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Jenis – jenis Ngaben Sederhana :
Mendhem Sawa 
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

Ngaben Mitra Yajna 
Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).

Pranawa Pranawa
Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

Pranawa Bhuanakosa 
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.

Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.

Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat ngaben ini sebagai berikut :
  1. Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
  2. Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
  3. Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
  4. Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
  5. Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
  6. Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
  7. Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
  8. Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
  9. Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
  10. Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan
Jenis-jenis Ngaben yang Lazim pada Masyarakat Hindu Bali

Dalam masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben terdiri dari beberapa jenis yang secara garis besar terbagi menjadi dua jenis ngaben yakni ngaben sederhana dan ngaben sarat (meriah). Untuk jenis-jenis ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sederhana antara lain: Mendhem Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa, dan Swasta. Sedangkan untuk ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.

a.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sederhana:

1. Mendhem Sawa
Mendhem Sawa secara harfiah berarti menguburkan mayat. Dan seperti yang sudah saya jelaskan di atas, yakni Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan “bila tanem atau mratiwi”. Di samping itu juga, dalam masyarakat Hindu Bali ada semacam konfensasi untuk menunda pembakaran sang mayat karena tersebab oleh hal-hal yang dapat diterima seperti kurangnya biaya, sedang dalam keadaan darurat dan sebagainya. Atau mungkin juga dengan alasan-alasan filosofis seperti bahwa agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna sebenarnya bukanlah nama yang resmi digunakan, tapi karena jenis ngaben ini oleh Lontar Yama Purwana Tattwa, di mana jenis ngaben ini bersandar, tak disebutkan namanya maka untuk membedakan dengan ngaben-ngaben lainnya maka ngaben ini secara tak resmi disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Mitra Yajna sendiri merupakan asal dari kata Pitra dan Yajna yang artinya kobaran suci. Secara garis besar, Ngaben Mitra Yajna ini dapat dijelaskan sebagai sebuah upacara pembakaran mayat seperti yang ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa. Ciri lain yang menonjol dari jenis ngaben ini adalah melakukan upacara ngaben selama tujuh hari dengan waktu pelaksanaan yang sembarang (tidak bersandar pada perhitungan hari baik).

3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

4. Pranawa Bhuanakosa
Jenis ngaben ini merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu, yang pada intinya merupakan prosesi upacara pembakaran mayat bagi yang belum lama meninggal. Dalam Pranawa Bhuanakosa ini tidak ada ketentuan bahwa sang mayat sebelumnya telah dikuburkan atau tidak. Selama sang mayat belum terlalu lama meninggal maka jenis ngaben ini dapat dilaksanakan.

5. Swasta
Ngaben Swasta dikhususkan bagi orang yang meninggal dan mayatnya tidak diketahui keberadaannya, tidak ditemukan (baik karena hilang atau karena terlalu lama dikuburkan), atau terlalu jauh (meninggal di tempat yang jauh). Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.


b.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sarat:

Jenis-jenis Ngaben Sarat terbagi atas dua jenis tergantung dari jenis mayat yang akan diaben yaitu apakah jenis Sawa Prateka atau Sawa Wedhana.

1. Sawa Prateka
Sawa Prateka adalah dikhususkan bagi mayat yang baru meninggal dan belum pernah diadakan upacara penguburan sama sekali. Prosesinya sendiri secara singkat dapat dikronologiskan sebagai berikut: setelah ruh meninggalkan badan, maka pertama-tama yang dilakukan oleh keluarga mendiang adalah mengadakan upacara bagi sang mendiang seperti memandikan jenazahnya, memercikinya dengan tirta pemanah, memberinya sesaji tertentu sebagai hidangan, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu.

2. Sawa Wedhana
Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar