ॐ नमः शिवाय

Selasa, 03 November 2015

Pemangku atau Pinandita




Lwirning mandadi maadaning jana suruupa dhana kula-kulina yowana
Laawan tang sura len kasuuran agawe i manah ikaang saraat kabeh
Yan wwanten sira sang dhaneswara suruupa guna dhana kulina yowana
Yan tan maada maharddhikeka pengarania sira putusi sang pinandita.
(Kekawin Nitisastra IV, 19)

Maksudnya:
Yang membikin orang mabuk surupa, kekayaan, kebangsawanan, dan kemudaan. Juga kesaktian, kepandaian dan minuman beralkohol. Kalau ada orang yang tidak mabuk karena kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, kemudaan, kesaktian, surupa dan alkohol, maka ialah yang dapat disebut sang Maharddhika ialah yang patut ditetapkan sebagai pinandita.

PELAYAN umat yang membantu umat Hindu memuja Hyang Widhi dan Dewa Pitara terutama dalam bentuk ritual disebut pemangku. Umumnya pelayan umat yang disebut pemangku ini ada di tiap tempat pemujaan untuk membantu umat Hindu pada umumnya dalam melakukan ritual pemujaan.

Di India pun pelayan umat seperti itu selalu ada di tiap pura atau tempat pemujaan. Di India pemangku pura seperti itu disebut pujari. Meskipun pemangku itu bukan seorang dwijati, namun ia juga harus dipilih dari kalangan umat yang memang memiliki keluhuran moral dan mental yang tinggi. Menetapkan seseorang untuk menjadi pemangku tidaklah boleh sembarangan.

Seperti dinyatakan dalam kutipan Kekawin Nitisastra di atas. Orang boleh ditetapkan sebagai pinandita itu adalah orang yang tidak mabuk oleh tujuh hal. Tujuh hal yang menyebabkan orang mabuk itu adalah sbb: kekayaan (Dhana), kepandaian (Guna), keindahan rupa (surupa), kebangsawanan (kula-kulina) kemudaan (yowana), kesaktian (kasuuran) dan minuman tuwak (sura).

Kalau tujuh hal itu mampu dicapai oleh seseorang dan orang itu tidak mabuk karenanya, maka orang itu disebut seorang yang telah mencapai keadaan Maharddhika. Orang yang telah mencapai keadaan rohani yang disebut maharddhika itulah yang patut ditetapkan sebagai seorang pemangku atau pinandita. Sebutan pemangku seperti yang dinyatakan itu ada bermacam-macam.

Ada yang menyebutnya jan banggul Ida Batara, ada juga yang menyebut Jero Gede. Bahkan ada juga membedakan antara Jero Gede dengan pemangku. Ada yang menyebutkan Jero Tapakan. Di luar Bali pemangku demikian itu ada yang menyebutnya wasi. Ada disebut dukun dan banyak lagi istilah-istilah lainnya sesuai dengan sistem bahasa yang digunakan oleh umat Hindu di tempat tersebut.

Rohaniwan yang telah dwijati juga ada banyak sebutan. Ada yang disebut Mpu, Dang Hyang, Ida Resi, Diksita, Ida Pedanda, Ida Peranda, Ida Sulinggih. Di India juga ada yang disebut Swamiji, Pandit, Pandita, Acarya, Stotria, dll. Kalau kita bedakan rohaniwan Hindu tersebut ada dua yaitu yang masih statusnya Eka Jati dan yang sudah Dwijati.

Dalam Maha Sabha II PHDI 1968 rohaniwan yang digolongkan pemangku ini disebut pinandita. Sedangkan rohaniwan yang tergolong dwijati disebut pandita. Hal ini ditetapkan untuk menyamakan persepsi umat Hindu di seluruh Indonesia mengenai keberadaan rohaniwan Hindu.

Ketetapan Maha Sabha tersebut bukanlah untuk memaksakan istilah pinandita dan pandita itu digunakan secara seragam dan serentak di seluruh Indonesia. Ketetapan itu semata-mata untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Karena istilah pandita dan pinandita umumnya sudah memiliki konsepsi yang jelas dan sangat konseptual dalam Sastra suci Hindu.

Kehidupan beragama itu menyangkut aspek yang sangat esensial, personal dan sangat spiritualitas sifatnya. Karena menyangkut dimensi yang sangat luas dan dalam, maka penyeragaman istilah harus dilakukan sangat berhati-hati. Meskipun hal itu memiliki acuan yang kuat dan jelas pada kitab suci. Yang sangat penting dilakukan ke depan adalah menyiapkan calon-calon pinandita dan pandita yang memiliki persyaratan yang makin mendekati ketentuan Sastra suci Hindu.

Persoalan kehidupan beragama ke depan akan makin kompleks. Umat tidak semata-mata saat sembahyang dan melakukan upacara yadnya membutuhkan tuntunan pemangku dan pandita. Umat akan membutuhkan tuntunan kerohanian dari para pemangku dan pandita dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupannya.

Calon pemangku atau pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghapalkan Puja Stawa untuk mengantarkan umat sembahyang atau melakukan upacara yadnya. Calon pemangku hendaknya menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang menyangkut persoalan hidup dan kehidupan umat manusia sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama Hindu dalam kitab sucinya.

Yang lebih penting lagi di samping ilmu pengetahuan adalah menyiapkan moral dan mental yang luhur dan tangguh untuk menegakkan swadharma seorang pemangku dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. 

1. ROKHANIAWAN HINDU
Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan . Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

A. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.

B. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain.

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.

A. Rokhaniawan Tingkat Dwijati
Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.

Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.

Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :

a. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru sebagaimana diberikan oleh Nabenya.

b. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.

c. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.

d. Umulahaken Kaguru Susrusan :
Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin mengenai ajaran Nabenya.

Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.

Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain. Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari.

Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada “ngetut yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati
Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati. Eka berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang berarti lahir. Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri. Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah Pemangku atau Pinandita. Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 menetapkan bahwa Pemangku atau Pinandita adalah “pembantu yang mewakili Pendeta” ini merupakan istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih. Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup hanya dengan upacara pawintenan.

Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya.

Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya seorang Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam mepuja. Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain. Sedangkan Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan, Panyudamalan, dan Nyapu Leger.


2. PERANAN PEMANGKU DALAM MASYARAKAT
Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu. Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.

Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.


3. PENGERTIAN PEMANGKU
Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.

Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “Nampa”, “Menyangga” atau “ Memikul Beban” atau Memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.

Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:

a. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.

b. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.

Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.

Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu “mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).


4. MENGAPA HARUS ADA PEMANGKU
Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bergama Hindu bahwa untuk melaksanakan yadnya tertentu yang cukup besar, umat Hindu biasanya akan meminta bantuan Pendeta dan atau Pemangku.

Pendeta dan atau Pemangku dalam hal ini akan bertindak sebagai perantara antara yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan. Dalam hal ini Pendeta dan atau Pemangku akan bertindak sebagai Pemimpin Upacara. Untuk Pendeta dikatakan sebagai pemuput karya (menyelesaikan upacara), sedangkan untuk Pemangku dipergunakan istilah Nganteb Upakara (Banten), bukan muput karya.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa ditimbulkan perantara untuk melaksanakan yajna. Apakah tidak boleh dilaksanakan sendiri tanpa perantara Pendeta dan atau Pemangku? Di atas telah dijelaskan bahwa penggunaan Pendeta dan atau Pemangku itu sudah menjadi tradisi. Tradisi ini mungkin timbul karena masyarakat Hindu sejak zaman dahulu sudah terbagi dalam kelompok-kelompok profesi. Kelompok Brahmana mempunyai profesi di bidang keagamaan dan karena itu dipandan sebagai kelompok yang paling memahami ajaran-ajaran agama termasuk tata cara upacaranya. Karena itu adalah wajar manakala Pendeta dinyatakan sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan atau Ida Bhatara Kawitan. Sementara itu, jika hanya dimintakan bantuan Pemangku, maka disini Pemangku akan berfungsi sebagai “wakil Pendeta” sudah tentu sebatas kewenangan yang dimilikinya. Sebagaimana sudah disinggung di atas istilah yang dipergunakan untuk Pemangku dalam kegiatan ini bukanlah “muput karya”, tetapi hanyalah nganteb banten saja.
Sudah menjadi kebiasaan pula bahwa untuk kegiatan upacara harian dan yajna yang kecil-kecil, umat Hindu biasanya melaksanakannya sendiri tanpa bantuan Pendeta ataupun Pemangku.


5. KAPAN PEMANGKU DIPERLUKAN
Pemangku diperlukan bantuannya pada waktu warga masyarakat melaksanakan upacara Panca Yajna (kecuali Rsi Yajna), khususnya jika tidak diminta bantuan Pendeta. Pada saat upacara Dewa Yajna, ketika warga melaksanakan piodalan, bantuan Pemangku sangat diperlukan, baik pada waktu ada Pendeta dan terutama apabila tidak dimintta bantuan Pendeta. Mengenai dipergunakannya Pendeta atau Pemangku, rupanya juga sudah merupakan tradisi bagi Pura-Pura trtentu. Pura-Pura yang cukup besar, biasanya mempergunakan Pendeta untuk muput karya. Sedangkan untuk Pura-Pura yang kecil, dipergunakan Pemangku sebagai penganteb banten. Bahkan ada pula Pemangku yang sama sekali tidak mempergunakan Pendeta maupun Pemangku. Ini nampaknya juga bidangmengikuti tradisi leluhur mereka sejak dahulu kala.

Dalam upacara Manusia Yajna, seperti upacara nelu bulanin, ngotonin dan lain-lain, demikian pula upacara Pitra Yajna, seperti ngaben, kemudian upacara Bhuta Yajna seperti melaksanakan pecaruan, bantuan Pemangku juga diperlukan. Untuk muput karya Manusia Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna termasuk di atas, sering pula diminta bantuan Pendeta, tergantung besar kecilnya tingkat upacara yang dilaksanakan.

Secara formal, memang tidak ada ketentuan yang baku, bahwa untuk upacara ini harus memakai Pendeta dan untuk upacara itu harus meminta bantuan Pemangku saja. Semuanya tentu tergantung dan terserah kepada hati nurani dan keyakinan mereka masing-masing. Biasanya kalau ingin lebih mantap, tentu warga akan minta bantuan Pendeta untuk muput karya.

6. SIAPA YANG BOLEH MENJADI PEMANGKU
Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. Seorang calon Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi. Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah sembarangan. Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Disamping harus sehat secara rokhaniah, mereka juga harus sehat jasmaniah, tidak cedangga (cacat) bisu tuli atau sakit-sakitan. Sehat secara fisik ini sangata diperlukan, karena seorang Pemangku seringkali harus bekerja di tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya dan atau harus bekerja sampai larut malam.

Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang akan dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan atau perilaku buruk seperti di bawah ini :

a) Suka mabuk karena kekayaannya (dhana)

b) Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)

c) Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)

d) Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)

e) Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)

f) Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)

g) Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)

Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan, barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mencalonkan diri menjadi Pemangku.


7. CARA-CARA MEMILIH PEMANGKU
Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memilih Pemangku, antara lain :

1. Pertama adalah dengan cara nyanjan, yaitu dengan mempergunakan seseorang yang sedang kerawuhan. Namun menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi (SARAD No.10/2000) cara ini sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Hal ini karena sulit membuktikan bahwa orang itu benar-benar kerawuhan Ida Bhatara. Sebaiknya digunakan saja cara lain yang lebih rasional dan sudah disahkan oleh PHDI, yaitu melalui pemilihan secara demokratis dengan cara penunjukan atas dasar kesepakatan bersama atau dapat juga dengan mempergunakan kewange seperti di bawah ini.

2. Kedua dengan cara mempergunakan kewangen. Dalam hal ini, Krama Dadia terlebih dahulu agar menetapkan beberapa orang calon Pemangku yang dianggap memenuhi persyaratan. Misalnya para calon Pemangku berusia cukup dewasa, berbadan dan berjiwa sehat, tingkah lakunya terpuji, mempunyai rasa pengadian yang tinggi dan lain-lain. Kepada para calon Pemangku ini dibagikan masing-masing satu kewangen. Tetapi di salah satu kewangen itu diisi rerajahan Ongkara yang diletakkan tersembunyi, sehingga tidak terlihat perbedaannya dengan kewangen yang lain. Kemudian kewange itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan. Setelah itu, satu persatu kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan saksi dan Krama Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah yang dianggap terpilih sebagai Pemangku.

3. Ketiga adalah pemilihan Pemangku berdasarkan keturunan. Keturunan seorang Pemangku apalagi kalau sudah secara turun temurun menjadi Pemangku, dipandang sebagai orang yang sudah mempunyai jiwa kepemangkuan, jiwa pengabdian, jiwa pelayanan yang tinggi. Tentu orang yang dipilih itu hendaknya juga memenuhi persyaratan di atas. Meskipun yang bersangkutan adalah anak seorang Pemangku, tetapi kalau jiwanya tidak stabil, suka menipu, sering berbohong, sering mabuk-mabukan, suka berjudi, suka main perempuan dan lain-lain perbuatan atau perilaku buruk lainnya tentunya tidak patut dipilih menjadi Pemangku.

4. Keempat adalah pemilihan Pemangku secara demokratis berdasarkan penunjukan atas dasar suara terbanyak anggota Krama Dadia seperti telah disinggung dalam butir di atas. Cara ini pun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu harus ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya jika ada tiga orang calon yang sudah memenuhi syarat, maka ketiga orang itu harus dipilih secara demokratis dalam suatu paruman Krama Dadia. Calon yang memeperoleh suara terbanyak harus ditetapkan menjadi Pemangku.

Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan, menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa seseorang yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar kapala dan sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang terpilih itu hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over acting. Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya saja dan selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang masih remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan dia bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.

Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas baginya untuk dikemudian hari – jika memenuhi persyaratan – akan menjadi orang suci. Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama, kerokhanian dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.

8. PAWINTENAN PEMANGKU
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”. Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.

Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :

Pawintenan Sari

Pawintenan Mepedamel

Pawintenan Samkara Ekajati

a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.

Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :

\ Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun

\ Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa

\ Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik

\ Tidak suka memperkosa orang lain

Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih.

b. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :

$ PHDI Kecamatan dan Kabupaten

$ Pejabat Pemerintah setempat

$ Perangkat Desa Adat

$ Kantor Departemen Agama Kabupaten

$ Guru Rupaka dan keluarganya

Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.

Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal ke atas.

c. Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).

Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron. Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan dipangkunya.

Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.

Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.

Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).

Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.

Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.

Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.

Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma), disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).

Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :

ü Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati

ü Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit

ü Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur

Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.

Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut adalah penjelasan secara singkat :

Ø Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu

Ø Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama

Ø Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Ø Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan

Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :

è Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama

è Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar dirinya

Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.

Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).

Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.

Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.


9. NAMA PANGGILAN SEORANG PEMANGKU
Nama panggilan seorang Pemangku dibedakan sbb. :

Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku, dll. adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Sari

Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Mepedamel

Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Samkara Ekajati

Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia. Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku, sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.

Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.

Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi, seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama. Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.

Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.


10. PAKAIAN PEMANGKU
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku, pakaian Pemangku dibedakan untuk Pemangku dengan sebutan Jero Mangku dan dengan nama panggilan Jero Gede.

Pakaian Pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuan adalah :

v Destar (udeng) petak (putih)

v Kwaca (baju) petak (putih)

v Kampuh (saput) petak (putih atau kuning)

v Wastra (kain) petak (putih)

v Dandanan rambut magelung anyondong yang ditutup destar bongkos nangka

Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai Pemangku adalah :

v Dandanan rambut panjang magelung anyodong rapi, rambut meperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih

v Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang

v Kampuh kuning

v Wastra putih, melelancingan


11. TINGKAT-TINGKATAN PEMANGKU
Berdasarkan besar kecilnya Pura yang diemong, Pemangku dapat dibedakan sbb. :

a) Pemangku Sanggah/Merajan adalah Pemangku yang bertugas di Sanggah atau Merajan keluarga

b) Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero Mangku

c) Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku di Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)

d) Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede, sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad

Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :

a) Pemangku Pura Sad Kahyangan

b) Pemangku Pura Dang Kahyangan

c) Pemangku Pura Kahyangan Tiga

d) Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura Panti atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas


12. HAK-HAK PEMANGKU
Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat, seorang Pemangku sudah selayaknya diberikan kebebasan dari kewajiban tertentu disamping juga hak-hak yang sepatutnya, sebagai imbalan atas pengabdiannya yang tulus dan ikhlas untuk ngayah tanpa pamrih :

1) Pemangku dibebaskan dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya

2) Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :

¢ Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan Pura

¢ Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut

¢ Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika ada

3) Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia


13. WEWENANG, TUGAS, DAN KEWAJIBAN PEMANGKU
Setiap umat manusia memiliki swadharma atau tugas kewajiban tersendiri. Demikian pula halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang diemongnya

b. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin, seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih

c. Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut, termasuk yajna membayar kaul dan lain-lain

d. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan mempergunakan tirtha Sulinggih

e. Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih

f. Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta

Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :

a. Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya

b. Dapat “ngeloka pala sraya”sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya


14. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN NGANTEB UPAKARA
Pada saat akan nganteb baten, Pemangku terlebih dahulu katuran panguleman (pemberitahuan) berupa canangsari yaitu sebagai permakluman kehadapan Hyang Taksu (susuhanannya) bahwa Pemangku akan melaksanakan tugasnya untuk nganteb upakara (banten). Hal ini tentu tergantung dari desa kala patra atau kebiasaan atau tradisi setempat.

Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di bawah ini :

1) Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih, peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong 550 kepeng

2) Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci lengkap, dan canangsari serta daksina

3) Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar

4) Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara telah selesai

5) Banten upacara untuk nganteb terdiri dari :

\ Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng jinah bolong

\ Dalam upacara pedudusan dilengkapi dengan banten bebangkit, pulegembal, gelarsanga, dan pasipatan

\ Suci alit, lengewangi, buratwangi, banyu awing

\ Bunga yang harum

\ Kalpika 33 biji

6) Piranti pemujaan terdiri atas :

\ Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu

\ Sagku tempat tirtha

\ Pedupaan

\ Bajra/Genta

\ Tempat bija

\ Tempat bunga




(Dikutip dari buku DASAR-DASAR KEPEMANGKUAN "Suatu Pengantar dan Bahan Kajian bagi Generasi Mendatang" oleh Drs. K.M. Suhardana, diterbitkan oleh PARAMITA Surabaya 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar