ॐ नमः शिवाय

Selasa, 03 November 2015

Kitab Suci Hindu

Kitab Suci Hindu




Berbeda dengan ajaran agama lain, Hindu memiliki banyak "kitab keagamaan" yang disucikan oleh penganutnya.
Kitab-kitab suci Hindu secara luas dalam dikelompokkan dalam 2 golongan: yaitu Sruti (itu yang didengar) dan Smriti (itu yang diingat).
Kedua kelompok kitab-kitab suci ini dianggap "wahyu Tuhan" karena dalam pembuatannya dianggap mendapat inspirasi Tuhan (God-inspired).

Kitab-kitab Weda

Kitab-kitab tersebut selanjutnya disebut Weda, yang berarti pengetahuan.
Ada empat kelompok Weda yang memberikan pelajaran tentang kebenaran tertinggi dan penuntun untuk menuju Tuhan.

Tiga kitab Weda pertama disebut sebagai Tri Weda, yang terdiri dari:
Rig Weda (Weda Nyanyian Pujaan, Weda of Hymns)
terdiri dari 1028 nyanyian pujaan atau hymne (dalam sepuluh buku) kepada para Dewa, seperti Indra dan Agni.
Yajur Weda (Weda of Liturgy)
berkaitan dengan pengetahuan upacara. Berisi tentang berbagai aturan yang menjelaskan bagaimana melaksanakan semua upakara, ditulis dalam bentuk prosa dan puisi.
Weda ini sesungguhnya buku untuk pendeta, bahkan menjelaskan aturan membuat sebuah altar dan tata ritual upacara adalah bagian penting dari Weda ini.
Sama Weda (Weda of Music)
berkaitan dengan pengetahuan pengucapan mantra (chants). Weda ini terdiri dari 1549 sloka. Sama Weda dinyanyikan oleh para Reshi ketika upacara korban Soma dilakukan. Sampai ukuran tertentu banyak dari sloka Weda ini merupakan pengulangan dari Rig Weda, dinyanyikan dalam bentuk melodi. Mantra dalam Weda ini ditujukan kepada Soma (bulan), Agni (api) dan Indra (Tuhan surga).
Satu kitab pelengkap dari Sama Weda adalah Chandogya Upanishad.
Atharva Weda
berisi pengetahuan yang diberikan oleh Maharesi Atharwa.
terdiri dari 731 hymne dengan 6000 ayat.
Beberapa orang mengatakan bahwa Atharwa bukan menyusun kitab ini tapi beberapa pendeta kepala dalam upacara yang berkaitan dengannya. Atharwa yang disebut dalam Rig Weda, dianggap sebagai putra pertama dari Tuhan Brahma, Tuhan Pencipta (God of Creation).
Atharwa Weda juga dikenal dengan Brahma Weda sebab ia digunakan sebagai manual oleh pendeta kepala upacara dan para Brahmin.
Kitab ini berisi rumusan-rumusan magis dan jampi-jampi.
Sejumlah besar Upanishad sebenarnya berasal dari Atharwa Weda. Percaya atau tidak, banyak dari mantra pengusir setan (exorcisme) dalam agama Hindu berasal dari Weda ini.

Garis besar isi kitab Weda
Weda-Weda pada umumnya berisi :

  1. Samhita; Teks dasar untuk himne, formula dan japa (chants).
  2. Brahmana; Petunjuk pelaksanaan upacara
  3. Aranyaka; Berisi Mantra dan tafsir dari upacara-upacara.
  4. Upanishad; Ini adalah sejumlah teks yang mengungkapkan kebenaran spiritual tertinggi dan berbagai anjuran mengenai cara untuk mencapai kebenaran itu.

Upanishad
Ada lebih dari 108 buku Upanishad.
Upanishad yang paling penting adalah : Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka, Mandukya, Aitereya, Taittirya, Chandogya, Brihad-Aranyaka, Kausitaki, Shvetasvatara dan Maitri.
Beberapa dari Upanishad dinamai menurut Reshi besar yang ditokohkan atau digambarkan dalam Upanishad tersebut.
Para Reshi besar itu adalah Mandukya, Shvetasvatara, Kaushitaki dan Maitri. Upanishad yang lain diberi nama berdasarkan kata pertama dari kitab itu.

Yoga Upanishad bagian yang paling penting dari Upanishad ini adalah:
Yogattava berisi semua rincian mengenai praktik yoga.
Nadabindu seperti digambarkan oleh namanya, berkaitan dengan phenomena indra pendengaran yang menyertai latihan-latihan yoga tertentu. Dhyanabindu berkaitan dengan suku kata AUM dan dengan banyak wahyu mistik.

Çiwa

Çiwa



Çiwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Çiwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.
Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Çiwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Çiwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.

Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.
Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Çiwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.

Kelahiran Rudra
Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Çiwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.

Çiwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Çiwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Çiwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Çiwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Çiwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Çiwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Pertama kalinya Çiwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Çiwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b). Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Çiwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Çiwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Çiwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Çiwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.

Çiwa Trinetra
Uraian tentang Çiwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Çiwa. Sati, anak Daksa istri pertama Çiwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Çiwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Çiwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Çiwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Çiwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Çiwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Çiwa “terbangun”. Çiwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Çiwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Çiwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Çiwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka.

Çiwa Nilakantha
Çiwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Çiwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Çiwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Çiwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.

Asal Mula Atribut Çiwa
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Çiwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Çiwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Çiwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Çiwa sebagai pakaiannya. Melihat Çiwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Çiwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Çiwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa.
Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Çiwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Çiwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Çiwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.

Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Çiwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Çiwa. Çiwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Çiwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Çiwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.

Sapi Jantan Wahana Çiwa
Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Çiwa.

Wisnu

Wisnu




Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Pemujaan terhadap Wişņu telah disinggung dalam Ŗg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, dan Atharwa-Weda. Dalam kitab-kitab itu, Wişņu belum dianggap sebagai dewa yang tinggi kedudukannya seperti pada masa selanjutnya.

Dikatakan bahwa Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (tiwikrama).
Wişņu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.
Kedudukan Wişņu sebagai dewa matahari dalam agama Hindu masih dikenal dalam bentuk samar-samar. Penyembahan pada Wişņu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana.
Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dilakukan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu.

Dalam kitab Ŗig-Weda disebutkan bahwa Wişņu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian.
Wişņu kadang-kadang dianggap sebagai korban yajŋa, sehingga ia disebut sebagai Yajŋa Narayana.

Tiga dewa serangkai yang disebut dalam kitab Weda sebagai prototype dari dewa Trimurti pada masa kemudian adalah Agni sebagai dewa dunia, Wayu sebagai dewa angkasa, dan Surya sebagai dewa langit. Hal itu didasarkan pada tugas Trimurti, yaitu membinasakan, yang biasa dilakukan oleh Çiwa, yang intinya dapat ditemukan dalam kekuatan yang dimiliki oleh angin ribut (Wayu). Bersama dengan Dewa Wayu yang dianggap sebagai dewa angin, dipuja pula Dewa Indra sebagai dewa matahari atau dewa dari angkasa yang terang benderang. Angkasa yang terang benderang ini dikuasai oleh Wişņu dan Indra. Menurut kitab Weda, Wisnu menerima warna biru dari Indra. Berkat Indra pulalah Wişņu mendapat sebutan Wasudewa.

Demikian juga melalui Indra, dihubungkan dengan pahlawan dunia. Dari kitab Mahābhārata dapat diketahui pertumbuhan Wişņu yang semakin meningkat. Wişņu yang mula-mula sebagai dewa matahari, kemudian meningkat menjadi salah satu dewa Trimurti dan kemudian menjadi tokoh sentral.
Sejarah perkembangan kedudukan Wişņu dapat diikuti dengan jelas dalam kesusastraan India Kuno. Dalam epik Mahābhārata, Krsna dan Arjuna, meskipun tidak jelas hubungannya dengan Surya, dan berdasarkan sifat-sifat Indra yang menjadi dewa langit dapat diketahui dengan samar-samar hubungannya antara Surya dan Wişņu melalui Indra.

Kedudukan Wişņu yang tinggi dan anggapan bahwa Wişņu merupakan salah satu dari Dewa Trimurti dapat ditemukan dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana serta kitab-kitab kesusastraan India yang membicarakan tentang ilmu arca.

Wişņu sebagai pemelihara dunia Wişņu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia, Wişņu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda.
Dalam penjelmaannya ini Wişņu dapat menjelma penuh, sebagai manusia dan berlangsung dalam jangka waktu lama (umumnya disebut ber-awatāra), sementara (umumnya disebut awesa), atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa).

Awatāra Wişņu misalnya turun sebagai Rama, Arjuna, dan Kŗşna. Sementara, awesa Wişņu adalah sebagai Paraçurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para ksatria. Dalam waktu yang relatif pendek, Paraçurama dapat menyelesaikan tugasnya. Tidak lama sesudah dapat menyelesaikan tugasnya, Paraçurama bertemu dengan Raghurama, kepada siapa ia menyerahkan segala “kedewataannya”, sehingga ia tidak mempunyai tugas lagi dan tidak dimasuki kekuatan Dewa Wişņu lagi.
Wişņu pun dapat memancarkan sebagian kekuatannya untuk menolong dunia ke dalam bentuk senjata, misalnya sankha dan cakra. Kedua senjata itu diyakini dapat memberikan perlindungan seperti layaknya Dewa Wişņu itu sendiri. Kedua benda itu mempunyai sifat-sifat kedewataan yang dijelmakan ke dunia sebagai benda keramat.

Awatāra Wişņu Dalam beberapa kesusastraan, kita kenal bermacam-macam awatara Wişņu, diantaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan Dasawatāra Wişņu, seperti yang terdapat dalam kitab Waraha Purana. Sebaliknya dalam kitab Bhagawata Purana disebutkan sebanyka 22 awatāra. Menurut kepercayaan Hindu India, dasawatāra dianggap berhubungan dengan sepuluh macam kejadian di dunia, ketika Wişņu bertugas menghancurkan berbagai rintangan yang menghalangi perputaran dunia. Kesembilan di antaranya sudah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum terjadi. Kesepuluh awatāra Wişņu menurut Waraha Purana itu adalah:

  1. Matsyawatāra – Sebagai ikan (matsya), Wişņu meolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang menelan dunia.
  2. Kurmawatāra – Sebagai kura-kura (kurma), Wişņu berdiri di atas dasar laut menjadi alas bagi Gunung Mandara yang dipakai oleh para dewa untuk mengaduk lautan dalam usaha mereka mendapatkan amrta atau air penghidup.
  3. Warahawatāra – Ketika dunia ditelan laut dan ditarik ke dalam kegelapan patala (dunia bawah), Wişņu menjadi babi hutan (waraha) dan mengangkat dunia kembali ke tempatnya.
  4. Narasimhawatāra – Hiranyakasipu, seorang raksasa, dengan sangat lalimnya menguasai dunia. Kesaktiannya yang luar biasa menjadikan ia tak dapat dibununh oleh dewa, manusia, maupun binatang, tak dapat mati di waktu siang dan juga malam. Maka, untuk memberantasnya, Wişņu menjelma menjadi singa-manusia (narasimha) dan dibunuhnya Hiranyakasipu pada waktu senja.
  5. Wamanawatāra – Wişņu menjelma sebagai orang kerdil (wamana) dan meminta kepada Daitya Bali yang denagn sangat lalim memerintah dunia supaya kepadanya diberikan tanah seluas tiga langkah. Setelah diizinkan maka dengan tiga langkah (tiwikrama) ini ia menguasai dunia, angkasa, dan surga. Di sini tampak Wişņu sebagai Dewa Matahari, yang “menguasai” dunia dengan tiga langkahnya; waktu terbit, waktu tengah hari, dan waktu terbenam.
  6. Paraçuramawatāra – Wişņu menjelma sebagai Rama bersenjatakan kapak (paraçu) dan menggempur golongan ksatria sebagai balas dendam terhadap penghinaan yang dialami oleh ayahnya, seorang brahmana, dari seorang raja (kasta ksatriya). Tampak suatu “reaksi” terhadap revolusi zaman Upanisad.
  7. Ramawatāra – Rama titisan Wişņu ini adalah yang terkenal dari cerita Ramayana. Yang mengancam kerselamatan dunia adalah Rawana atau Dasamukha.
  8. Kŗşnawatāra – Kŗşna ini terkenal dari Mahābhārata, sebagai raja titisan Wişņu yang membantu para Pandawa menuntut keadilan dari para Kurawa.
  9. Buddhawatāra – Wişņu menjelma sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana..
  10. Kalkya/Kalkiawatāra – Keadaan dunia saat ini sangat buruk dan akan tiba saatnya nanti kejahatan itu akan mencapai puncaknya, sehingga dunia terancam kemusnahan. Pada saat itulah maka Wişņu akan menjelma sebagai Kalki dan dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus ia akan menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.

Brahma

Brahma



Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Çiwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Çiwait maupun Wişņuit.

Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Çiwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.

Brahma adalah dewa yang menduduki tempat pertama dalam susunan dewa-dewa Trimūrti, sebagai dewa pencipta alam semesta.

Mitologi tentang Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada zaman Brahmāna. Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.

Menurut kitab Satapatha Brahmāna, dikatakan bahwa Brahmalah yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas para dewa. Sebaliknya, di dalam kitab Mahabharata dan Purana dikatakan bahwa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Wisnu. Sebagai pencipta dunia, Brahma dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.


Pencipta dunia
Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiak belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.

Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.

Brahma, seperti juga Çiwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā (pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha (raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).

Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.

Dewa berkepala empat
Brahma dikenal juga sebagai dewa berkepala empat dengan masing-masing muka menghadap keempat arah mata angin. Keempat muka Brahma merupakan simbol dari empat kitab Weda, empat Yuga, dan empat warna. Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).
Kitab Matsya Purana menyebutkan bahwa kepala Brahma berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong Çiwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan.

Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa.
Menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Çiwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Çiwa. Çiwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”

Trimurti

Trimurti





Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah Dewa yang tertinggi (Içwara) yang menjadikan dan menguasai alam semesta.
Dewa ini berbadan tiga, sesuai dengan kekuasaan Içwara yang tiga macam; mencipta, memlihara atau melangsungkan, dan membinasakan.
Ketiga macam kekuasaan yang masing-masing diwakili oleh satu badan dewa ini kemudian diwakili oleh seorang dewa.
Demikianlah dewa pencipta adalah Brahma, dewa pemelihara adalah Wişņu, dan dewa pembinasa adalah Çiwa, dewa waktu.

Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wi şņu dan Çiwa yang mendapat pemujaan luar biasa.
Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.

Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Çiwa.
Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Çiwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Çiwa adalah dewa yang satu-satunya.
Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Çiwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Çaiwa, Wişņu adalah Çiwa sebagai pemelihara alam semesta.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trim ūrti itu Çiwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara.
Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu.
Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Çiwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.

Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Içwara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheçwara, dan Mahakala, Çiwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.

Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.

Kecuali Trim ūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.

Kasta

Kasta


Sistem kasta, sebagaimana yang dipahami dalam masyarakat luas: adalah sebuah mengelompokan manusia dalam satuan kelompok kecil berdasarkan "profesi" yang diwariskan secara turun temurunan.
Adalah sangat beruntung mereka yang terlahir dalam lingkungan kasta atas, karena mereka masih mendapat peluang/keluasaan untuk "lintas sektoral" misalnya seorang Brahman masih mungkin untuk berkiprah dalam sektor Ksatria. Sedangkan yang paling menderita adalah yang terlahir dari rahim keluarga Paria, yang dikatagorikan sebagai manusia buangan (karena tidak termasuk dalam lingkup kasta).

Lalu apakah demikian ajaran Hindu?

(semoga pendapat saya ini tidak dianggap sebagai suatu excuse)

Dalam ajaran Hindu, yang berinduk pada kumpulan kitab sastra Rigveda, memang terdapat sebuah aturan yang mengatur pembagian tugas dalam menjalankan kehidupan dengan istilah Varna (warna).
Pembagian tugas ini merupakan simbolisasi bagian tubuh Prajapati (dewa Brahma, sebagai pencipta), yaitu:

  1. Mulut = Brahman, sebagai bagian tubuh yang bertugas untuk mengumpulkan pengetahuan dan memberikan nasehat ~ tugas pemimpin agama.
  2. Tangan = Ksatria, dengan tugas untuk melindungi ~ termasuk memimpin negara dan tentara.
  3. Tubuh = Waisya, dengan tugas untuk memberikan limpahan makanan ~ termasuk petani, pedagang.
  4. Kaki = Sudra, yang bertugas melayani ketiga kasta terdahulu.

Sampai disini saya yakin kita dapat memahami tujuan pembagian tugas yang sangat profesional untuk masa tersebut; sebab kalau para profesional tersebut menjalankan tugas diluar batasan profesinya maka keteraturan tidak akan pernah terbentuk.
Dapatkan seorang Brahman mendalami agama kalau pada saat yang bersamaan harus pergi berperang atau memecah perhatiannya untuk urusan perut?
Atau seorang ksatria yang harus berperang namun pada saat yang bersamaan harus memimpin upacara keagamaan?
Atau seorang petani yang seharian bekerja diladang namun harus menjalani puasa sebagai bagian dari lelaku keagamaan?

Rigveda tidak membahas bahwa pembagian tugas ini bersifat regenerative, tidak berarti tanggung jawab ini juga menjadi tanggung jawab & hak sanak keluarganya.
Dalam perkembangan ajaran Hindu selanjutnya Rsi Svayambhuva seorang resi-manu mempelopori untuk memberikan "nilai aturan" dalam ajaran Hindu yang kemudian dikenal sebagai Mānava-dharmśāstra atau Manusmṛti (aturan Manu) diperkirakan dibuat pada periode tahun 200 SM hingga 200 M.
Pada awalnya resi Svayambhuva membuat 10.000 sloka yang memuat berbagai hukum yang berlaku dalam ajaran Hindu. Kemudian resi-resi Manu pengganti Svayambhuva secara beruntun mengurangi jumlah aturan-aturan tersebut hingga akhirnya hanya berjumlah 2685 sloka saja.

Dalam buku "aturan Manu" inilah bahasan Varna dijabarkan dan berlaku pula secara regenerative dimana dituliskan ... Untuk pertumbuhan dunia, Brahman menciptakan Brahmana (golongan pandita), Kshatriya (golongan prajurit), Waisya (golongan pedagang), dan Sudra (golongan pekerja).
dan juga bagaimana pengelompokan ini berlaku pada proses Hukum Karma dan Reinkarnasi...

Saya berpendapat:
Pada masa tersebut, setiap keluarga dari turunan tertentu akan mewarisi kemampuan dan ketrampilan generasi sebelumnya baik secara genetikal maupun tradisi ~ sehingga "pertumbuhan" aturan akan berlangsung secara lebih pasti.

Pada saat masa para Rsi Manu berakhir, sebenarnya banyak dari para pemimpin ajaran Hindu yang mencoba menyampaikan protes pada konsepsi Varna ini, kita ambil contoh:
Dalam kitab Mahabarata, tentang Karna yang dalam perjuangan hidupnya sebagai anak seorang kusir (sudra) mendapatkan kesempatan menjadi adipati (ksatria) dan banyak contoh lain...

Protes dan penentangan pada konsepsi ini juga dilakukan oleh Sidharta Gautama (Ksatria) yang membuang diri dalam lingkungan kaum paria hingga akhirnya mendapatkan kesempurnaan menjadi Budha.

Tokoh-tokoh Hindu era modern juga melakukan penentangan konsepsi ini, misalnya pandhit Mahatma Gandhi dengan kelompok Harijan (dari golongan paria) yang menentang penggunaan konsepsi Kasta dalam kehidupan keseharian di India yang membuahkan pelarangan menerapkan konsepsi Kasta di luar jalur keagamaan.

****************
Kasta [dalam bhs portugis, casta=keranjang] menjadi semakin kuat dan melembaga sebenarnya bukan karena ajaran Hindu (baik dari rigveda maupun manusriti) tetapi dari budaya feodalism lingkungan kerajaan yang melegalisir kekuasaan dengan mengatas namakan agama.... nah kalau sampai titik ini, saya rasa Kasta berlaku di semua bentukan kebudayaan manusia...

Kosmologi Penciptaan Alam Semesta Menurut Hindu


Kosmologi Hindu merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam semesta menurut filsafat Hindu. Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.

Daftar isi

Purusa dan Prakerti

Dalam ajaran Hindu, Purusa dan Prakerti merupakan dua unsur pokok yang terkandung dalam setiap materi di alam semesta. Purusa dan Prakerti merupakan unsur yang bersifat kekal, halus, dan tidak dapat dipisahkan. Purusa adalah unsur yang bersifat kejiwaan sedangkan Prakerti adalah unsur yang bersifat kebendaan atau material. Pada penciptaan alam semesta, Prakerti berevolusi menjadi Pancatanmatra yaitu lima benih yang belum berukuran. Pancatanmatra setelah melalui evolusi yang panjang akhirnya menjadi Pancamahabhuta, yakni lima unsur materi. Lima unsur materi ini kemudian membentuk anggota alam semesta, seperti misalnya matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan lain-lain.

Penciptaan Alam Semesta

Dalam Kitab Weda

Dalam kitab Regweda terdapat nyanyian yang mengisahkan asal mula alam semesta. Nyanyian tersebut disebut Nasadiyasukta dan terdiri dari tujuh bait sebagai berikut:
Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu, dan mana itu? Airkah di sana? Air yang tak terduga dalamnya?
Waktu itu tidak ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar daripada Ia tidak ada apapun.
Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong.
Setelah itu timbullah keinginan, keinginan yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Rsi setelah bermeditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara yang ada dan yang bukan ada.
Sinarnya terentang keluar. Apakah ia melintang? Apakah ia di bawah atau di atas? Beberapa menjadi pencurah benih, yang lain amat hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan adalah benih unggul.
Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui? Siapakah di dunia ini yang dapat menerangkannya? Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada setelah kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul?
Dia, yang merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat mengetahuinya atau mungkin juga tidak.

Menurut filsafat Hindu dalam Regweda, elemen dasar dunia adalah Asat atau ketiadaan yang sama dengan Aditi yaitu ketidakterbatasan. Semua yang ada adalah Diti yaitu yang terikat. Ajaran dalam Regweda juga menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Brahman dari unsur yang sudah ada. Hiranyagharba atau "Janin Emas" muncul dari lautan yang memenuhi angkasa lalu dari dalamnya muncul Brahma yang membangun dunia yang masih kacau tanpa bentuk agar teratur rapi.

Dalam Kitab Purana dan Upanisad

Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta tahap demi tahap. Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.
Menurut kitab Purana, pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmanda. Pada awal proses penciptaan juga terbentuk Purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus. Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, munculah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).
Dasendria
Pancabuddhindria Pancakarmendria
  1. Srotendria (rangsang pendengar; indria pada telinga)
  2. Twakindria (rangsang peraba; indria pada kulit)
  3. Caksuindria (rangsang penglihatan; indria pada mata)
  4. Ghranendria (rangsang pencium; indria pada hidung)
  5. Jihwendria (rangsang pengecap; indria pada lidah)
  1. Garbendria (penggerak perut; indria pada perut)
  2. Panindria (penggerak tangan; indria pada tangan)
  3. Padendria (penggerak kaki; indria pada kaki)
  4. Payuindria (penggerak organ pelepasan; indria pada organ pelepasan)
  5. Upasthendria (penggerak alat kelamin; indria pada alat kelamin)
Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra, yaitu lima benih unsur alam semesta yang sangat halus, tidak berukuran. Lima benih tersebut dijelaskan sebagai berikut:
  1. Sabdatanmatra (benih suara)
  2. Rupatanmatra (benih penglihatan)
  3. Rasatanmatra (benih perasa)
  4. Gandhatanmatra (benih penciuman)
  5. Sparsatanmatra (benih peraba)
Pancatanmatra merupakan benih saja. Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur benda materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur Zat Alam. Kelima unsur tersebut yaitu:
  1. Pertiwi (zat padat, tanah, logam)
  2. Apah (zat cair)
  3. Teja (plasma, api, kalor)
  4. Bayu (zat gas, udara)
  5. Akasa (ether)
Pancamahabhuta berbentuk Paramānu, atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi. Unsur Teja mendominasi matahari, sedangkan bumi didominasi Pertiwi dan Apah.

Struktur Alam Semesta

Lapisan Atas Lapisan Bawah
  1. Bhurloka
  2. Bhuwahloka
  3. Swahloka atau Swargaloka
  4. Mahaloka
  5. Janaloka
  6. Tapaloka
  7. Satyaloka atau Brahmaloka
  1. Atala
  2. Witala
  3. Sutala
  4. Talatala
  5. Mahatala
  6. Rasatala
  7. Patala

Lapisan Atas Alam Semesta

Menurut agama Hindu, bagian atas alam semesta terdiri dari tujuh lapisan. Tujuh lapisan tersebut dikenal dengan istilah Saptaloka (tujuh alam). Bhurloka adalah lapisan yang paling bawah tempat bumi berada; Bhuwahloka adalah lapisan alam di atasnya yang didiami oleh para raksasa; Swahloka atau Swargaloka atau surga adalah kediaman para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra; Mahaloka adalah kediaman Resi Bhrigu; Janaloka adalah kediaman Sapta Resi; Tapaloka merupakan kediaman ras makhluk yang disebut Weragi; Satyaloka atau Brahmaloka merupakan kediaman penguasa satu alam semesta yakni dewa Brahma.[1]

Tujuh Hari dan Benda Semesta

Saptawara atau tujuh hari yang masing-masing memiliki benda semesta:
No. Indonesia Inggris Surya-siddhanta Bali Benda Semesta
1. Senin Monday Soma Soma Bulan
2. Selasa Tuesday Angaraka ANggara Mars
3. Rabu Wednesday Buddha Buda Merkurius
4. Kamis Thursday Brhaspati Wraspati Jupiter
5. Jumat Friday Sukra Sukra Venus
6. Sabtu Saturday Saniscara Saniscara Saturnus
7. Minggu Sunday Aditya Radite Matahari
Ketujuh benda angkasa tersebut berada di Bhurloka.[2] Saptaloka bukan merupakan tujuh lapisan langit, sebab loka berarti alam dan di dalam satu loka terdapat banyak planet. Lapisan langit disebut Akasha (IAST: Ākāśa) yang berarti angkasa.

Lapisan Bawah Alam Semesta

Menurut agama Hindu, di bawah Bhurloka terdapat tujuh lapisan alam bawah yang dihuni oleh makhluk dengan unsur kasar. Saptapatala terdiri dari: Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala. Atala identik dengan Mahamaya; Witala dipimpin oleh manifestasi Siwa yang disebut Hatakeswara; Sutala dipimpin oleh raksasa Bali; Talatala dipimpin oleh Maya; Mahatala kediaman ular raksasa; Rasatala dihuni para Detya dan Danawa; Patala dipimpin oleh Basuki, raja para naga. Planet-planet naraka atau neraka berada di Patala. Dengan demikian satu alam semesta menurut Weda terdiri dari 14 lapisan alam.[1]

Usia Alam Semesta

Dalam kitab-kitab suci Hindu disebutkan bahwa alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.
Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahma melewati usianya yang ke-100, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.
Masa hidup Brahma dibagi setiap satu siklus Mahayuga. Yuga terdiri dari empat bagian, yang mana dalam setiap bagian merupakan zaman yang memiliki karakter berbeda-beda. Mahayuga memiliki 71 Divisi, dan setiap divisi merupakan 14 Manvantara (1000) tahun. Setiap Mahayuga berlangsung 4.320.000 tahun. Manwantara adalah siklus Manu, leluhur manusia menurut kepercayaan Hindu.

Sumber :
  1. ^ a b Wikana, Ngurah Heka: "Loka", 2010:2
  2. ^ http://narayanasmrti.com/2010/07/misteri-di-balik-nama-nama-hari/